TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Koperasi Akuarium Bangkit Mandiri Dharma Diani mengatakan Kampung Akuarium sama dengan kampung pada umumnya di DKI Jakarta, meski bangunan itu merupakan aset Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.
Dharma bersikeras, meski Kampung Susun Akuarium merupajan aset milik pemerintah daerah, tetapi pembangunannya menggunakan skema Surat Persutujuan Penunjukkan Penggunaan Lokasi atau Lahan atau SP35. Sehingga pembangunannya tidak menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau APBD secara langsung.
“Kami seperti kampung-kampung pada umum dan kebanyakannya. Kami mengelola kampung kami sendiri, kami bayar sewa langsung 5 tahun ke pemerintah, kami tidak mendapat subsidi air maupun listrik,” ucap Dharma kepada TEMPO pada Senin, 15 Januari 2024.
Sebelumnya, menurut pantauan TEMPO pada Sabtu, 6 Januari 2024 kawasan Kampung Susun Akuarium terlihat dipenuhi dengan spanduk dan baliho AMIN. Berdasarkan keterangan Dharma, itu adalah inisiatif warga untuk mendukung mantan Gubernur DKI Anies Baswedan usai lingkungan mereka digusur. Mereka mengklaim dana itu murni dari iuran warga.
Dharma berujar iuran itu sebagai bentuk rasa terima kasih warga atas jasa Anies membangun Kampung Akuarium, “Mengembalikan orang gusuran itu enggak mudah, sudah dikasih rumah, sudah dikasih identitas, dibentuk RT itu luar biasa. Jadi apa yang kita lakukan sekarang itu enggak ada apa-apanya,” katanya.
Namun, KPU DKI menyebut bahwa lokasi itu merupakan salah satu tempat yang dilarang pemasangan alat peraga kampanye politik. Oleh karena itu, Bawaslu Jakarta Utara bersama Panwascam Penjaringan memberikan peringatan soal pelarangan itu. Warga Kampung Susun Akuarium pun akhirnya secara suka rela menurunkan spanduk dan baliho yang dipasang di dinding dan pagar pada Senin malam, 8 Januari 2024.
Meski begitu, Dharma tetap menganggap Kampung Akuarium merupakan konsep kampung susun yang baru, berbeda dengan rumah susun lainnya. “Kalau rusun lain diatur sama Unit Pengelola Rumah Susun atau UPRS dari Dinas Perumahan. Kami kan enggak, semuanya dari warga. Keamanan warga, kebersihan, penghijauan, iuran warga, tentang apapun itu. Karena itu, kami merasa warga kampung biasa,” ucapnya.
Ia juga merujuk pada ketentuan dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan BPAD Provinsi DKI Jakarta mengenai 'apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan' bagi warga Kampung Susun Akuarium.
"Yang kami pahami di proses PKS kami, yang jadi larangan adalah: 1. Tidak boleh menjual bangunan; 2. Tidak menerima gerai anjungan tunai mandiri; 3. Tidak pasang baliho iklan komersil; 4. Tidak menyewakan kepada pemilik usaha ritel (seperti Indomaret, Alfa, dan lain-lain). Jadi hal ini yang kami pegang," kata Diani.
Oleh karena itu, warga mengklaim pemasangan alat peraga kampanye di kampungnya seharusnya tidak melanggar aturan. Sebab mereka memiliki hak politik dan demokrasi yang sama. Terlebih, mereka juga bingung atas imbauan Bawaslu untuk menjaga netralitas.
Pasalnya, warga Kampung Akuarium tak ada yang menyandang status sebagai Aparat Sipil Negara atau ASN, Polri atau TNI. “Jadi siapa yang harus menjaga netralitas? Itulah akhirnya kita berani pasang banner,” ucapnya.
Pilihan Editor: Baliho AMIN Terpasang Lagi di Kampung Susun Akuarium, Warga: Kami Punya Hak Politik yang Sama