TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat Desa Labuh Air Pandan Kecamatan Mendo Barat Kabupaten Bangka resah setelah lahan desa seluas 856 hektar lahan diduga dijual oleh Kepala Desa (Kades) dan kelompok kecil masyarakat setempat kepada salah satu perusahaan.
Jual beli lahan tersebut berada di tiga dusun di Desa Labuh Air Pandan yakni Dusun Balau, Labuh dan Air Pandan. Kegiatan tersebut diduga hanya dilakukan oknum kades sendiri tanpa diketahui atau melibatkan perangkat lain di kantor desa dan juga dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Kepala Dusun Balau, Saibol mengatakan modus yang digunakan pembelian lahan desa tersebut adalah dengan meminta fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) masyarakat setempat yang seolah-olah sebagai pemilik lahan.
"Informasi yang saya dapat dari masyarakat yang mengumpulkan KTP, mereka mendapatkan uang Rp 20 juta. Padahal masyarakat itu sendiri mengakui mereka tidak tahu soal lahan. Dikasih uang setelah mengumpulkan KTP, mereka terima," ujar Saibol kepada wartawan di Kantor Desa Labuh Air Pandan, Senin, 26 Februari 2024.
Saibol menuturkan tidak tahu menahu soal transaksi warga dusun yang dipimpinnya terkait lahan tersebut. Proses transaksi, kata dia, dilakukan sekelompok kecil warga masyarakat yang mengumpulkan KTP.
"Sasaran kebanyakan masyarakat dengan ekonomi bawah. Mereka senang saja hanya modal KTP lalu mendapatkan uang. Kita sendiri tidak tahu berapa luas lahan yang sudah dijual, lokasi lahan disebelah mana, berapa masyarakat yang sudah dapat hingga besaran pasti nominal yang diterima. Setiap kita tanya mereka menghindar," ujar dia.
Kepala BPD Labuh Air Pandan, Edi Subiantoro mengatakan pihaknya sudah pernah mengirimkan surat kepada Kades Labuh Air Pandan Tarmizi untuk menanyakan soal surat permintaan penguasaan lahan kepada salah satu perusahaan seluas 856 hektar. Namun surat BPD, kata dia, hingga kini tidak dibalas oleh kades.
Dalam salinan surat yang diterima Tempo, Kades Tarmizi mengirimkan surat ke salah satu perusahaan dengan mengatasnamakan Pemerintah Desa Labuh Air Pandan pada 29 Januari 2024 untuk mengajukan permohonan kegiatan penguasaan lahan masyarakat. Surat itu sendiri dibuat seolah-olah usulan sudah berdasarkan kesepakatan masyarakat.
"Kita juga bingung soal surat kades kepada perusahaan itu. Sebelumnya tidak pernah ada musyawarah desa atau pertemuan lain untuk menyepakati hal itu. Perusahaan yang diminta pun tidak pernah ada sosialisasi kepada masyarakat atau bertemu perangkat desa," ujar dia.
Edi Subiantoro menyebutkan jika pihaknya juga mencoba untuk berkonsultasi kepada Kejaksaan Negeri (Kejari Bangka) guna menanyakan kejelasan status lahan apakah masuk lahan desa atau kawasan hutan.
"Kalau statusnya jual beli ini kita sayangkan. Seolah kita yang berada di struktur perangkat desa tidak dianggap. Kades sebelumnya selalu melibatkan seluruh perangkat. Namun setelah pergantian kades baru, kita tidak pernah dilibatkan soal lahan ini," ujar dia.
Mantan Kepala Desa Labuh Air Pandan, Badaruddin mengatakan sudah pernah mengingatkan Kades Tarmizi jangan sampai membuat kebijakan yang bisa menimbulkan gejolak dan kisruh ditengah masyarakat.
"Pernah saya sampaikan ke beliau kalau berkaitan dengan administrasi desa, mungkin tidak kena. Namun jika masalah lahan, harus hati-hati," ujar dia.
Menurut Badaruddin, semasa dia menjabat memang ada beberapa perusahaan yang berusaha menjalin komunikasi dan silahturahmi terkait dengan keinginan perusahaan-perusahaan itu untuk berinvestasi di desa. Namun perusahaan yang dipilih kades Tarmizi, kata dia, justru tidak pernah menjalin komunikasi kepada masyarakat.
"Ini kita sayangkan. Tidak pernah berkunjung ke kantor desa dan sosialisasi ke masyarakat namun tiba-tiba mau menguasai lahan desa kita. Bahkan kita berinisiatif mengajak perusahaan tersebut untuk sosialisasi tetapi tidak pernah terlaksana dengan alasan perusahaan belum siap. Namun justru terjadi seperti ini," ujar dia
Kades Labuh Air Pandan Tarmizi saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon enggan berbicara banyak soal penjualan lahan desanya. Dia berdalih belum mengetahui secara detail.
"Sejauh ini belum bisa bicara banyak. Soalnya saya secara detail belum tahu pasti juga kemana arahnya, bagaimana, untuk siapa hingga berapa luas dibeli saya belum tahu juga. Terkait surat ke perusahaan itu benar. Tapi bukan penguasaan tapi pengelolaan. Nanti kalian (Wartawan) ke perusahaan saja. Soalnya perusahaan yang punya konsesi," ujar dia.
Upaya konfirmasi lebih lanjut menanyakan sejauh mana proses jual beli lahan tanpa kesepakatan musyawarah desa, besaran pergantian lahan hingga siapa saja pemilik lahan tidak dijawab kembali oleh Tarmizi. Dia langsung memutuskan komunikasi dengan alasan sedang ada kegiatan di Sungailiat.
Pilihan Editor: Mafia Tanah di Kantor BPN Tak Pandang Bulu, Program PTSL Jokowi pun Jadi Sasaran Bancakan