TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI dan LBH Jakarta mengecam diskriminasi dan kekerasan oleh kelompok intoleran kepada sejumlah Mahasiswa Katolik Universitas Pamulang. Dua lembaga ini meminta Polres Metro Tangerang Selatan dan Polda Metro Jaya untuk mengusut tuntas kasus kekerasan ini.
“Kejahatan berupa tindakan intoleransi yang tidak boleh dibiarkan. Mengusut tuntas dan memastikan adanya penegakan hukum yang adil dan transparan serta terpenuhinya hak-hak korban dalam proses hukum, termasuk di dalamnya hak atas pemulihan,” kata Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur dan Pengacara Publik LBH Jakarta Alif Fauzi Nurwidiastomo dalam keterangan tertulis, Selasa, 7 Mei 2024.
Acara pembacaan doa rosario oleh sekelompok mahasiswa Universitas Pamulang (Unpam) dibubarkan paksa sejumlah warga di sebuah rumah kontrakan di Kelurahan Babakan, Kecamatan Satu, Tangerang Selatan atau Tangsel pada Ahad, 5 Mei 2024. Pembubaran tersebut berujung penyerangan dan penganiayaan terhadap mahasiswa. Bahkan, satu orang diketahui terluka usai terkena sabetan senjata tajam atau sajam dari warga
Isnur meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk memantau proses penegakan hukum yang berjalan secara adil sesuai KUHP dan prinsip hak asasi. Dia berharap kedua institusi ini juga memastikan hak-hak korban, termasuk hak atas pemulihan, terpenuhi.
Isnur juga mendesak pemerintah Kota Tangerang Selatan dan pemerintah Provinsi Banten untuk memastikan tak ada lagi diskriminasi dan kekerasan seperti ini. “Memastikan tidak adanya keberulangan tindakan diskriminatif maupun kekerasan bagi siapa pun di wilayah pemerintahannya dalam hal penikmatan hak atas kemerdekaan beragama atau berkeyakinan,” kata Isnur.
Baca Juga:
Tak hanya itu, Isnur mendesak Presiden melalui Kementrian Agama, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Polri, dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membuat regulasi yang menjamin kemerdekaan beragama dan berkeyakinan. Senyampang itu, Isnur juga meminta mereka menghapus regulasi yang meneruskan praktik diskriminasi.
YLBHI dan LBH Jakarta Sebut Ketua RT Pancing Kebencian Antarumat Beragama
Dalam kasus kekerasan dan diskriminasi ini, Isnur menyebut tindakan Ketua RT setempat justru memicu sekaligus memancing kebencian antarumat beragama yang disertai kekerasan. Dalam kasus ini, Ketua RT sempat melarang mahasiswa itu beribadah dan mendesak untuk memindahkan ibadah ke Gereja karena dilakukan terlalu malam. “Alih-alih menjamin kebebasan dan kemerdekaan warga untuk beribadah, Ketua RT setempat justru melakukan tindakan yang memancing kebencian antar umat beragama,” kata Isnur.
Padahal, kata Isnur, sebagai elemen negara dalam lingkup terkecil, Kepengurusan RT sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Peraturan Menteri dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, memiliki tugas dan mandat yang salah satunya ialah menanamkan dan memupuk rasa persatuan dan kesatuan masyarakat.
Selain itu, Isnur menilai pelarangan terhadap sejumlah mahasiswa yang beribadah di ruang privat merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan hak atas kemerdekaan beragama atau berkeyakinan. Hak ini disebut telah diatur dalam Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Isnur juga mencatut Pasal 22 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa, “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu serta Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan kepercayaannya”.
Dalam berbagai peristiwa, Isnur menyebut tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain yang berbeda agama dan keyakinan, seringkali menyebabkan konflik sektarian meluas. Pengalaman konflik internasional antarumat beragama dan berkeyakinan di Timur Tengah dapat memberikan gambaran yang mengerikan.
“Tentang bagaimana kekerasan menjadi hal yang lumrah dan negara terjerumus menjadi negara gagal (failed states) karena tidak mampu menjalankan fungsinya,” kata Isnur. Kondisi ini juga disebut pernah terjadi di Ambon dan Poso beberapa dekade lalu.
Isnur menyebut gagalnya negara mencegah kekerasan antarumat beragama dan dugaan keterlibatan aparat keamanan terakumulasi menjadi faktor penyebab konflik. Fenomena ini, kata Isnur, menyebabkan masyarakat menjadi korban. “Ironisnya, ribuan jiwa yang sebelumnya hidup rukun menjadi korban, bahkan sampai memakan korban jiwa,” kata dia.
Dalam berbagai kasus pelanggaran hak atas kemerdekaan beragama atau berkeyakinan, Isnur menyebut negara melalui aparat penegak hukumnya cenderung bertindak diskriminatif. Sikap ini dilakukan dengan mempersempit dan menyalahgunakan penerapan Pasal 156a KUHP pada bentuk-bentuk kebebasan berekspresi atau keyakinan dan pendapat dalam pengamalan yang merupakan manifestasi kemerdekaan beragama atau berkeyakinan terkhusus pada ruang digital.
“Padahal, bentuk kebebasan berekspresi dan pengamalan ini harus dijamin oleh Negara sebagaimana Pasal 6 Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan Tahun 1981 yang juga dimuat dalam Standar Norma dan Pengaturan No. 2 Komnas HAM RI (SNP Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan),” kata Isnur.
Pilihan Editor: Peran Ketua RT dan 3 Warga Tersangka Pembubaran Ibadah Mahasiswa Katolik Universitas Pamulang