Menurut Uli, krisis iklim sekarang semakin parah. "Ketika ribuan hutan atau ratusan ribu hutan akan dibongkar untuk monokultur sawit atau untuk apapun, itu akan menambah emisi yang akan dilepas sedangkan bertumpuk di atmosfer,” ujarnya.
Selain itu, kata Uli, Suku Awyu dan Moi sudah sejahtera dengan wilayah adat yang mereka punya dan jaga saat ini. Jika perusahaan masuk, masyarakat adat di sana akan kehilangan segala hal, seperti indentitas, biodiversitas, pangan-pangan lokal, hingga pekerjaan tradisional.
Media sosial sebelumnya diramaikan dengan unggahan poster dan tagar ‘All Eyes on Papua’. Tagar itu digunakan sebagai bentuk dukungan terhadap masyarakat Papua yang tengah berjuang untuk menolak pembangunan perkebunan sawit di Papua.
Uli berharap, menggemanya tagar ‘All Eyes on Papua’ di media sosial dapat mendorong perubahan kebijakan soal wilayah adat masyarakat Awyu dan Moi. “Karena kampanye yang viral ini akan berarti kalau kemudian itu bisa mengubah keputusan pengadilan atau bahkan mungkin mengubah kebijakan pemerintah baik di level nasional maupun kabupaten.”
All Eyes on Papua. Foto: Instagram
Suku Awyu menggugat Pemerintah Provinsi Papua karena mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). PT IAL mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta, dan berada di hutan adat marga Woro–bagian dari Suku Awyu. Sementara sub Suku Moi Sigin melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektare hutan adat Moi Sigin untuk perkebunan sawit.
Pilihan Editor: Alasan Adam Deni Terima Vonis Penjara 6 Bulan