TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa hukum Inspektur Dua Rudy Soik, Ferdy Maktaen menyatakan lima dari 12 pelanggaran yang disebut oleh Polda Nusa Tenggara Timur (Polda NTT) diproses usai dia memasang garis polisi dalam kasus pengungkapan mafia bahan bakar minyak (BBM).
“Laporan itu muncul setelah police line itu terjadi. Jadi laporan-laporan itu dilakukan setelah police line itu terjadi,” kata Ferdy kepada Tempo pada Senin, 21 Oktober 2024.
Polda NTT memecat Rudy Soik melalui Sidang Kode Etik Profesi Polri (KKEP) pada 11 Oktober 2024. Keputusan ini diambil karena Rudy dinyatakan bersalah melanggar Kode Etik Profesi Polri (KKEP) dalam kasus penyelidikan dugaan penyalahgunaan BBM di Kota Kupang, NTT.
“Secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pelanggaran kode etik profesi polri berupa ketidakprofesionalan dalam penyelidikan dugaan penyalahgunaan bahan bakar minyak jenis solar dengan pemasangan police line di lokasi Ahmad Anshar dan Algajali Munandar,” bunyi dalam putusan Nomor: PUT/38/X/2024.
Atas putusan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) itu, Rudy Soik mengajukan banding.
Sebelumnya, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Humas) Polda NTT Komisaris Besar Ariasandy mengklarifikasi bahwa pemecatan Rudy bukan hanya karena memasang garis polisi di kasus itu saja, melainkan ada 12 pelanggaran kode etik lain.
“Rudy Soik terlibat dalam 12 kasus pelanggaran selama bertugas, dengan tujuh di antaranya terbukti bersalah dan telah menjalani berbagai hukuman,” ucapnya dalam keterangan resmi pada Kamis, 17 Oktober 2024.
Namun, Ferdy mengatakan semua dugaan pelanggaran itu dilaporkan setelah kasus pemasangan garis polisi, yang terjadi pada 27 Juni 2024. Berikut lima laporan polisi yang dimaksud:
- Laporan Polisi LP- A/66/VI/HUK.12.10./2024/Provos tanggal 7 Agustus 2024 dengan tuduhan tiga hari tidak melaksanakan tugas apel pagi;
- Laporan Polisi LP-A/50/VI/HUK.12.10./2024/Provos tanggal 27 Juni 2024 dengan tuduhan melakukan Pemfitnahan terhadap Aiptu Untung Patipelohi;
- Laporan Polisi LP- A/55/VI/HUK.12.10./2024/Provos tanggal 7 Juli 2024 dengan tuduhan meninggalkan tempat tugas tanpa izin pimpinan; dan
- Laporan Polisi LP- A/49/VI/HUK.12.10./2024/Provos tanggal 27 Juni 2024 dengan tuduhan masuk tempat hiburan;
Semua laporan itu belakangan diklaim menjadi dasar pemberian sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) untuk Rudy Soik. Padahal, kata Ferdy, pada kurun waktu itu Rudy sedang menjalani sanksi demosi berupa pindah penugasan di Polresta Kupang.
Ferdy menduga semua laporan itu sengaja dibuat oleh Polda NTT untuk membunuh karakter Rudy. “Tujuannya semata agar Rudy Soik tidak mengungkap praktik penyelewengan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi,” ucapnya.
Saat ini, Rudy Soik bersama kuasa hukumnya sudah mengajukan banding atas putusan pemberhentiannya pada 14 Oktober lalu. Untuk mengantisipasi adanya campur tangan Kapolda NTT, Rudy meminta agar sidang bandingnya nanti bisa diakses oleh masyarakat umum. “Saya meminta sidang dibuka secara transparan dan terbuka biar masyarakat mengetahuinya,” ucapnya.
Pilihan Editor: Yusril Ihza Sebut Tragedi Mei 1998 Bukan Pelanggaran HAM Berat, Ini Kata KontraS