TEMPO Interaktif, Jakarta - Di lahan seluas sekitar empat hektare di wilayah Bambu Apus, Cipayung, Jakarta Timur, Sekolah Menengah Atas Mohammad Husni Thamrin, tampak berdiri menjulang.
Jejeran tiang beton bercat kuning menahan bangunan yang menjadi ruang olah seni dan pementasan. Aroma seni menyeruak ke seisi ruangan itu. Di situ, nampak perabot gambang kromong tertata apik.
Sementara gedung laboratorium berlantai tiga yang berhadapan dengan ruang seni menjadi ruang praktik muatan fisika, biologi, dan kimia. Setiap harinya, ruang-ruang praktek itu selalu digunakan sebagai penunjang mata pelajaran pokok.
Sebagai sekolah penyandang unggulan berbasis sains, alat perangkat praktikum itu masih dirasa minim, menurut salah satu staf di bagian kesiswaan. Pemerintah DKI telah menganggarkan Rp 48,4 miliar untuk pengadaan laboratorium di sekolah itu.
Sementara gedung pustaka berdiameter oval tepat berada di sentral lapangan yang bersanding sejajar dengan tiang bendera merah putih. Suasana perpustakaan sejuk dan kondusif disertai petugas pelayanan yang ramah. Sementara rak-rak didominasi buku tentang sains. Ada juga soal religi, kesenian, bahkan sejarah singkat tentang sekolah ini.
Sekolah yang belum genap setahun ini baru memiliki 60 siswa yang terdiri dari 19 siswa laki-laki dan 41 perempuan. Sebanyak 20 siswa dibagi ke dalam tiga kelas yang kesemuanya masih di tingkat satu atau sebanding dengan kelas 10. Ada 24 guru yang mengajar, mulai pukul 07.00 hingga 16.00, dari Senin sampai Sabtu.
Seorang siswa di situ, Gita Hapsari, 15 tahun, mengaku awalnya sempat bingung mencari sekolah lanjutan setelah lulus dari SMP 19 Jakarta. Namun, kemudian kepala sekolahnya memberitahu mengenai profil sekolah Mohammad Husni Thamrin. Pemaparan program dan kurikulumnya, sontak membuat Gita 'jatuh cinta'.
"Kepala sekolah bilang ke aku, katanya baru saja mengunjungi sekolah ini. Aku memang mau coba sekolah boarding, terus aku langsung daftar sama mama ke sini," ungkap Gita, Selasa (27/1).
Selain menyukai pelajaran biologi, Gita juga rutin mengeluti ektrakulikuler beladiri Ju-jitsu. Darah seni ayahnya diapresiasi lewat kesenian gambang kromong. Sebidang tenis lapangan dan kolam renang yang berada dalam satu kompleks, tak lupa ia sambangi di kala senggang.
Berbeda dengan Irandre, 14, yang berkeinginan kuat mendalami pengetahuan sains. Andre, begitu ia akrab disapa, adalah satu di antara siswa lainnya yang menjadi finalis pada kompetisi matematika yang digelar Pemerintah Provinsi Jakarta pada 2009 silam.
"Tujuan saya masuk ke sekolah MHT karena dari sekolah dasar saya sudah menyenangi bidang matematika. Saya paling suka kalau ikutan lomba-lomba," kata Andre menjelaskan.
Perbedaan minat tak terlalu mencolok bagi Tiroy Junita, 15. Ia juga mengamini penuturan temannya Gita. Selain menyenangi biologi, Junita nampak mahir mengucapkan bahasa Inggris. Sesekali ia menjawab pertanyaan Tempo menggunakan bahasa itu. Kebetulan, di hari itu pihak sekolah menerapkan English Day sepanjang kegiatan belajar-mengajar.
Selama berada di MH Thamrin, ketiga siswa tersebut menetap di asrama yang berada di belakang ruang kelasnya. Jauh dari orang tua, menurut Gita, terkadang membuat dirinya home-sick. Untungnya, orang tua diperbolehkan berkunjung setiap akhir pekan oleh pihak sekolah.
Di saat kesempatan berkunjung itu banyak orang tua yang membekali anak-anaknya dengan berlembar uang. Siswa menggunakannya untuk biaya jasa laundry senilai Rp 190 ribu, biaya setiap makan Rp 15 ribu, dan biaya SPP sebesar Rp 1 juta. Sementara biaya pendaftarannya sebesar Rp 15 juta.
Mereka kompak mengatakan harapan dan cita-citanya agar sekolah ini bisa mengantarkan mereka menjadi profesor sains nantinya.
APRIARTO MUKTIADI