TEMPO.CO, Jakarta - Ahli hukum pidana dan kriminologi asal Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa, mengatakan pendekatan fisiognomi tak bisa digunakan sebagai pembenaran dalam kasus kematian Wayan Mirna Salihin, dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso. Fisiognomi merupakan cabang ilmu filsafat untuk membaca karakter seseorang dari wajah.
"Tidak tepat (pendekatan ini digunakan). Boleh dipakai, tapi hanya sebatas potential offender, yakni orang yang punya potensi untuk melakukan kejahatan," kata Eva dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin, 19 September 2016.
Eva didatangkan sebagai saksi ahli oleh kuasa hukum Jessica. Dalam persidangan itu, kuasa hukum Jessica, Otto Hasibuan, mengatakan bahwa selama ini, kriminolog yang memeriksa Jessica, Ronny Nitibaskara, menggunakan fisiognomi untuk menyebut Jessica sebagai pembunuh Mirna. Ronny sudah dihadirkan dalam sidang ke-17 Jessica.
"Tak bisa (fisiognomi) menjadi justifikasi bahwa seseorang adalah pelakunya. Palingan dipakai hanya untuk memberi gambaran terhadap tuduhan," kata Eva.
Eva bahkan menjelaskan teori ini adalah teori yang banyak diperdebatkan oleh para ahli. Sejak diperkenalkan pertama kali oleh seorang kriminolog bernama Lombroso, teori ini mengambil sejumlah nilai dari teori evolusi Charles Darwin.
Bahkan, pada awalnya, teori ini menggunakan hipotesis atavisme atau hipotesis yang mempercayai sifat/perilaku seseorang karena gen dari nenek moyangnya.
Karena itu, kata Eva, pendekatan ini tak seharusnya dilakukan oleh seorang kriminolog seperti Ronny. Pada umumnya, Eva mengatakan pendekatan yang dilakukan kriminolog adalah psikologis dan hukum pidana.
Alasannya, kriminolog bertujuan menemukan motif dari suatu kejahatan. "Beda pendekatannya, beda hasilnya," kata Eva.
Eva merupakan saksi ahli kriminolog pertama yang didatangkan oleh kuasa hukum Jessica. Selain ahli psikologi, kubu Jessica telah mendatangkan ahli toksikologi, ahli patologi kimia, dan ahli digital forensik.
EGI ADYATAMA