TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hampir saja kecolongan dengan membeli lahan bekas Kedutaan Besar Inggris di Jalan M Yamin, Menteng, Jakarta Pusat. Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama berniat membeli lahan itu untuk dijadikan taman. Pemerintah telah mengalokasikan dana Rp 479 miliar untuk pembelian lahan tersebut.
Namun, setelah diusut, ternyata, menurut Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah, lahan tersebut milik pemerintah pusat yang pada 1954 diberikan kepada Kedutaan Besar Inggris dengan status hak pakai.
"Lahan itu bukan hasil pembelian, tapi diberikan" kata Saefullah kepada Tempo saat diwawancarai di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat, 9 Desember 2016.
Baca:
DKI Batal Beli Lahan Eks Kedubes Inggris, Ini Penjelasannya
Taksi Ini Pasang Tarif Rp 20 Ribu untuk Semua Tujuan, tapi..
Dia berujar, hak pakai tersebut hanya berlaku 50 tahun sejak resmi diberikan pada 1960 atau sudah lewat enam tahun sekarang. "Jadi itu suratnya sertifikat hak pakai, terbit tahun 1960," ucapnya.
Saefullah juga menyatakan, dengan status hak pakai tersebut, seharusnya pemerintah Inggris membayar uang sewa kepada pemerintah daerah setiap tahun. Namun, sejak awal lahan itu dipakai, pembayaran sewanya nihil. "Ada bunyi dalam sertifikatnya kalau mereka harus bayar tiap tahun," ucap Saefullah.
Pihak pemerintah daerah bersyukur menemukan hal ini sebelum melakukan transaksi. "Kalau pemerintah DKI bayar untuk lahan tersebut, berarti belimbing makan belimbing," tuturnya.
"Kami akan bersurat dulu dengan Kementerian Agraria untuk meminta Kedubes Inggris mengembalikan lahan tersebut," ujarnya. Lahan itu secara tertulis milik Kementerian Agraria.
Ketika ditanyai, mengapa ini baru ketahuan sekarang, Saefullah mengatakan penyebabnya adalah pemda tidak memegang sertifikat lahan tersebut, sehingga tidak tahu-menahu sengkarut lahan hak pakai itu. "Mereka pegang sertifikat, seharusnya korek lagi apa saja kewajibannya," ucapnya.
Menurut Saefullah, alasan Kedubes Inggris tidak membayar sewa adalah tidak menerima tagihan. Dia menegaskan, mereka yang pegang sertifikat seharusnya meneliti lagi kewajibannya, karena pemda tidak pegang sertifikatnya. "Kedua pihak lalai," tutur Saefullah ketika ditanyai, siapa sebenarnya yang lalai.
BRIAN HIKARI | JH