TEMPO.CO, Jakarta - Pada pertengahan abad ke-19, sekitar tahun 1800, Jakarta masih bernama Batavia. Kala itu, perusahaan dagang Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC yang mengatur dan menguasai Nusantara. Bermarkas di Batavia, VOC membuat pelbagai kebijakan yang mencekik leher rakyat. Seperti tanah partikelir atau tanah yang dimiliki para tuan tanah.
"Tuan tanah kebanyakan orang Belanda," kata pengamat kebudayaan Betawi, Yahya Andi Saputra, Jumat, 15 Maret 2013. "Mereka menarik pajak seenaknya dan menyuruh centeng mengambil hasil panen rakyat."
Masyarakat pada waktu itu sungguh tertindas. Hingga ada perlawanan rakyat berupa kemunculan preman yang menentang kebijakan VOC. Di mata Belanda, kata Yahya, preman ini adalah perampok, orang yang membuat resah keamanan. Sedangkan bagi orang kampung Betawi, para preman berjasa membantu rakyat.
Preman yang terkenal kala itu adalah si Conat. Kata Yahya, si Conat beredar di wilayah Kebayoran Lama hingga Tangerang. Sejak usia belia, ia terkenal bernyali. Si Conat tak takut merampok, mencuri sapi, hingga membunuh. "Kalau zaman sekarang ibarat pencurian dengan pemberatan," kata dia.
Pada masa yang sama, muncul preman lain bernama Angkri. Beda dengan si Conat, Angkri menguasai daerah pantai utara: Marunda, Priok, dan Ancol. "Sama seperti si Conat, Angkri ini mencuri untuk menolong orang miskin," ujar Yahya.
CORNILA DESYANA
Baca juga
EDISI KHUSUS: Hercules dan Premanisme
Hercules, dari Dili ke Tanah Abang
Kantor Tempo Diserang
Hercules, dari Dili ke Tanah Abang