TEMPO.CO, Jakarta - Suwardi, 55 tahun, sedang menonton televisi di kediamannya, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Tayangannya mengenai ratusan eks anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang baru tiba di Jakarta pada Sabtu pagi, 23 Januari 2016. Para eks Gafatar itu ditampung di beberapa rumah sosial, termasuk Rumah Peduli dan Trauma Center Bambu Apus serta Panti Sosial Bina Insan di Jakarta Timur.
Pemulangan ratusan eks Gafatar menjadi kabar yang menarik perhatian Suwandi. Keponakannya yang bernama Fandi hilang. Kata orang, Fandi ikut kelompok Gafatar. Fandi pergi ke Kalimantan. Perhatian Suwandi terpecah dari televisi. Telepon seulernya berdering. Suwandi segera mengangkat ponsel. Suara di ujung ponsel tak asing, kakaknya yang tinggal di Aceh.
Sang kakak menyuruh Suwandi mengecek rumah-rumah sosial tempat penampungan eks Gafatar. Suwardi segera meluncur. Pertama, ia menuju RPTC Bambu Apus. Di sana korban paling banyak ditampung. Namun ia harus gigit jari. Petugas satpam tak memberi izin masuk. "Mungkin takut karena mereka baru sampai. Takut ada apa-apa," ujar Suwardi di lokasi.
RPTC Bambu Apus tampak lengang. Pintu gerbang tertutup dengan penjagaan seorang satpam. Sesekali satpam membuka pintu gerbang bagi mereka yang dianggap berkepentingan. "Selama berlangsung pendataan belum ada yang boleh masuk," kata Ikhwan, satpam RPTC.
RPTC menampung sekitar 400 orang eks Gafatar yang tiba pukul 04.00 WIB. Mereka diangkut menggunakan empat bus. Mantan anggota Gafatar itu berada di penampungan sampai selesai didata. Ikhwan terpaksa tak mengizinkan siapa pun yang tak berkepentingan mengunjungi eks anggota Gafatar itu, bahkan kerabatnya. Apa daya, kata Ikhwan, dia hanya menjalankan perintah.
MAYA AYU PUSPITASARI