Laporan Pelecehan Seksual di KRL Dioper Polisi, Pemerintah Disarankan Buka Pengaduan di Kelurahan
Reporter
Magang KJI
Editor
Linda novi trianita
Senin, 22 Juli 2024 06:48 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis dan pegiat advokasi anti-kekerasan seksual, Olin Monteiro, mengatakan birokrasi pelaporan pelecehan seksual akan menyulitkan korban jika jaraknya jauh. Menurut dia, harus ada ekosistem pelaporan pelecehan mulai dari tingkat terendah.
“Ini sebenarnya tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan tempat pengaduan dari level desa, kelurahan, kecamatan sampai ke atas,” ujar Olin saat Tempo menghubunginya pada Ahad, 21 Juli 2024.
Hal tersebut berkaitan dengan kasus seorang jurnalis magang salah satu media online berinisial QHC yang melaporkan pelecehan saat berada di Kereta Rel Listrik (KRL) pada Selasa 16 Juli 2024. Awal mulanya petugas keamanan KRL melihat seorang pria yang diam-diam merekam korban QHC saat perjalanan pulang setelah bertugas. Kemudian petugas keamanan KRL memberi tahu korban dan memeriksa ponsel pelaku. Saat petugas memeriksa HP pria tersebut menemukan tujuh video korban dengan durasi 3-7 menit dan ratusan video porno.
Didampingi petugas keamanan KRL yang menjadi saksi pelecehan, korban melapor ke Kepolisian Sektor (Polsek) Taman Sari. Namun oleh anggota Polsek Taman Sari, korban diminta melapor ke Polsek Menteng. Setibanya di Polsek Menteng, korban kembali dioper agar melapor ke Polsek Tebet. Setibanya di Polsek Tebet, anggota kepolisian justru meminta korban melapor ke Polda Metro Jaya, ke Renakta (Unit Remaja Anak dan Wanita).
"Laporan diterima, ditanya, kemudian dia menceritakan perkaranya. Setelah dikonfirmasi, lapor menyangkut masalah pelecehan, makanya kami arahkan ke Polda Metro Jaya ke Renakta (Unit Remaja Anak dan Wanita)" tutur, Kepala Polsek Tebet, Murodih.
Kapolsek Tebet yang menangani wilayah kepolisian di tingkat kecamatan namun malah mengalihkan laporan pelecehan seksual ke Polda Metro Jaya, Olin menilai hal itu sebagai ketidaklengkapan ekosistem kepolisian dalam menanggapi laporan pelecehan. “Berarti ekosistemnya belum lengkap dong, jadi harus dilengkapi oleh pemerintah, terutama oleh kepolisian," ujar Olin.
Selain melengkapi ekosistem, Olin berharap polisi harus memiliki perspektif korban, atau cara pandang yang memposisikan diri sebagai korban sebagaimana mandat Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Karena itu, polisi memerlukan pelatihan untuk menanggapi laporan pelecehan.
"Seharusnya punya perspektif korban. Sekolah kepolisian harusnya ada training gender, training untuk mendampingi korban, memahami korban dan etika melindungi korban, membantu mereka tidak kemudian malah melecehkan lagi," ujar Olin.
Saat korban QHC melaporkan pelecehan yang dialami ke Polsek, ia menilai polisi tidak memahami perspektif korban. Hal tersebut diketahui dari komentar Polsek saat menerima laporan pelecehan yang mengabaikan korban dan menormalisasi pelecehan.
Komentar tersebut seperti “mbaknya divideoin karena cantik kali”, kemudian “mungkin Bapaknya fetish, terobsesi dari video Jepang”. “Bapaknya ngefans sama mbaknya, mbak jadi idol” dan "cuma video biasa aja, mbak sedang duduk”.
Menurut Olin, komentar polsek dalam merespons laporan pelecehan tersebut merupakan bentuk pelecehan juga. Alih-alih menegakkan aturan, polsek yang menerima laporan pelecehan justru menjadi orang yang juga harus dilaporkan.
“Walaupun hanya dengan kata-kata, itu pelecehan lho tetap dan dan si polisi tadi yang melakukan ini bisa kita laporkan," ujar Olin
Olin mengatakan polisi harus merespons laporan pelecehan sesuai dengan aturan UU TPKS. Terdapat perlakuan berbeda yang harus dilakukan polisi dalam merespons laporan pelecehan seksual.
“Karena beda treatment-nya dengan pelaporan kasus-kasus lain. Orang yang menerimanya (laporan pelecehan) harus punya empati, punya pengertian tentang korban dan juga harus terlatih," tutur Olin.
Maulani Mulianingsih | Intan Setiawanty
Pilihan Editor: KPAI Minta Polisi yang Cabuli Anak Panti Asuhan di Kantor Polsek Tanjung Pandan Belitung Ditindak Tegas