TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Sub Direktorat Kawasan Asia Tenggara Direktorat perlindungan WNI (PWNI) Kementerian Luar Negeri, Rina Komaria menjelaskan mekanisme pemulangan warga Negara Indonesia yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang ke tanah air.
Rina mengatakan terdapat dua jalur bagi WNI yang menjadi korban TPPO untuk melapor. Yakni, melalui Kedutaan Besar RI (KBRI) atau pemerintahan negara setempat, jika memang negara itu memiliki kebijakan perlindungan TPPO.
"Yang datang ke KBRI, kami akan melihat kondisinya secara fisik. Apakah ada luka-luka, kami perlu memastikan dia mendapat perawatan dan kedua dilakukan assessment," ujar dia. Assessmen ini untuk menguji, apakah dia betul korban atau tidak.
Setelah proses assessmen dilakukan, bagi WNI yang diketahui over stay dan harus mengurus keimigrasian, maka akan disediakan tempat penampungan sementara atau shelter. Setelah itu, sesampainya di Indonesia akan melalui tahap di Kementerian Sosial dan Badan Reserese kriminal (Bareskrim).
Jika WNI tersebut korban TPPO, maka akan dipulangkan, namun jika terindikasi ada keterlibatan dengan jaringan, maka akan diproses lebih lanjut. Sebagai informasi, Bareskrim sendiri telah banyak menangani kasus jaringan TPPO atau online scam jejaring internasional.
Sinta (35 tahun) misalnya, perempuan asli Batam yang pernah jadi korban TPPO di Kamboja ini juga mengalami prosedur panjang sebelum pemulangan. Dalam wawancara bersama Tempo, 30 Juli lalu, setelah ia berhasil keluar dari perusahaan tempat ia dipaksa bekerja sebagai scammer. Ia tidak serta merta bisa langsung pulang.
Bersama rombongan lain, Sinta harus berhadapan dengan kepololisian Kamboja untuk melakukan pelaporan. Termasuk mendatangi KBRI di sana. Ia harus tinggal selama tiga bulan di shelter sebelum akhirnya pulang ke Indoensia pada Oktober 2023. Ia juga mengaku harus membuat laporan ke Bareskrim, namun sebatas pada laporan. "Paspor saya diambil waktu itu," ujar dia waktu itu.
Belakangan, publik dikejutkan dengan video viral yang menggambarkan warga negara Indonesia menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di daerah Hpa Lu, wilayah terpencil Myawaddy Myanmar.
Kementerian Luar Negeri telah mengetahui informasi tentang keberadaan WNI yang ada dalam video tersebut. Kemenlu mengatakan ada 20 orang yang bekerja di Hpa Lu.
"20 orang di casino kyaukhat yang ada di video itu," ujar Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) Judha Nugraha kepada Tempo saat ditemui di kantornya, Jumat, 13 September 2024.
Judha mengaku, mereka sebetulnya telah terdata di Kemenlu sejak Agustus lalu, sebelum video tersebut viral di media sosial sepekan terakhir. Mereka termasuk dalam data Kemenlu yakni 107 aduan TPPO di wilayah Myawaddy selama periode 2024. Dimana 44 dari data itu sudah dipulangkan ke Indonesia.
Namun sejauh ini, kondisi mereka memang baru diketahui secara sepihak, dari pengakuan mereka. Mereka diduga kuat menjadi pekerja online scammer.
Di sisi lain, hingga sejauh ini belum bisa dikonfirmasi, apakah mereka benar korban TPPO atau tidak. Karena Kemenlu belum mendapat konfirmasi dari mereka. Terdapat syarat tertentu, seseorang menjadi korban TPPO.
Myawaddy memang merupakan salah-satu pusat perusahaan online scam. Daerah tersebut merupakan wilayah konflik yang dikuasai oleh kelompok bersenjata.
Judha mengatakan terdapat rute yang kerap dipakai untuk mengirim WNI ke Myawaddy. Mereka umumnya diterbangkan lebih dulu ke Bangkok, Thailand. "Kita punya kunjungan bebas visa dengan sesama ASEAN," ujar dia. Dari Bangkok, kemudian mereka akan dilanjutkan perjalanan ke Mae Sot Thailand yang berbatasan langsung dengan Myawaddy Myanmar.
Dari Mae Sot ke Myawaady secara umum, mereka masuk secara non prosedural. Menurut Judha, cara paling dekat, jelas dengan kembali ke Mae Sot. Namun, permasalahannya, mereka masuk secara prosedural di Thailand, namun ke Myanmar dengan non prosedural. Akhirnya, di Imigrasi Thailand tercatat ada pelanggaran imigrasi, yakni over stay.
Pilihan Editor: Pemerintah Dinilai Lamban Tangani WNI Korban TPPO di Myanmar