TEMPO.CO, Jakarta - Ratusan warga memprotes penutupan Jalan Kirai 5 oleh PT Bintang Dharmawangsa Perkasa di RT 11/RW1 Kelurahan Cipete Utara, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu, 10 Januari 2018.
PT Bintang mengklaim mempunyai hak atas tanah di kawasan tersebut seluas 5,4 hektare. Sedangkan pengurus Forum Gerakan Warga Jalan Kirai, Ahmad Bayhaqi, mengatakan warga tidak terima jalan yang telah digunakan sejak puluhan tahun itu digusur begitu saja.
"Kami menuntut hak warga yang telah menggunakan jalan itu selama ini," kata Bayhaqi.
Penutupan jalan oleh PT Bintang tersebut panjangnya sekitar 60 meter dengan lebar 1 meter. Jalan ditutup dengan puing bangunan setinggi sekitar 80 sentimeter. Puing itu diambil dari sisa bongkaran rumah warga yang digusur di samping kiri dan kanan Jalan Kirai 5.
Sardi, Ketua RT 3/RW 4 Kelurahan Cipete Utara, mengatakan bahwa lahan yang diklaim PT Bintang terbentang dari RW1, 4, dan 8 Kelurahan Cipete. Warga datang karena ada surat undangan dari PT Bintang kepada beberapa pengurus lingkungan untuk mengosongkan rumah warga.
"Saya diundang untuk pertemuan itu," ucapnya.
Surat yang ditandatangani oleh Manajer Proyek Max Marthen Rantung tersebut menyatakan, rencana pengosongan dan pemasangan pelang PT Bintang berdasarkan SHM Nomor 10 seluas 44.450 meter persegi dan SHM Nomor 11 seluas 16.100 meter persegi.
Menurut Bayhaqi, klaim PT Bintang atas kepemilikan seluas 5,4 hektar di perkampungan yang dihuninya adalah ilegal. PT Bintang menyatakan mempunyai sertifikat hak milik dengan nomor 10 dan 11 atas lahan seluas 5,4 hektare. Namun, Dia meneruskan, saat ini sekitar 300 rumah warga telah berdiri di lahan tersebut.
"Sertifikat M10 dan M11 itu cacat hukum. PT (PT Bintang) tidak bisa punya hak milik."
Dia menuturkan, lahan warga memang selama ini masih status quo di Badan Pertanahan Nasional. Namun, pada 1960-an warga menang atas gugatan lahan tersebut.
Salah seorang ahli waris lahan, Nasrudin, 31 tahun, mengatakan permasalahan ini timbul karena pada 1950-an ada seorang mandor bernama Najih bin Miung yang menyatakan diri sebagai ahli waris lahan itu. Padahal, Mandor Najih tidak mempunyai hak untuk menjual tanah keluarga itu.
"Mandor tersebut yang menjual tanah karena memegang Ireda atau PBB (Pajak Bumi dan Bangunan)," ucapnya. "Padahal dia hanya mandor bukan ahli waris."
Diakui warga memang tidak mempunyai sertifikat atas kepemilikan tanah yang mereka tempati. Namun, warga mempunyai bukti surat pembayaran PBB dan putusan pengadilan yang dimenangi warga pada 1960-an.
Warga ingin membuat sertifikat atas tanah itu sekaligus menolak rumah dan tanah mereka dijual kepada PT Bintang. "Sebab sertifikat yang dimiliki perusahaan sudah dibatalkan sejak tahun 1960-an," kata Nasrudin menjelaskan duduk perkara penutupan jalan.