TEMPO.CO, Jakarta - Beredar kabar bahwa hakim agung Artidjo Alkostar pernah menjadi pengurus Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Front Pembela Islam (FPI) setelah Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali (PK) vonis kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, mengatakan tidak mengetahui secara detail mengenai hubungan personal antara Artidjo Alkostar dan organisasi Front Pembela Islam. Artidjo, ucap dia, merupakan hakim agung yang tidak menjadi anggota organisasi tertentu.
“Tidak pernah ada aktivitas-aktivitas. Paling-paling kalau dia hadir. Kalau dialog yang saya lihat, seperti itu. Kalau kegiatan sehari-hari full, ke tugasnya saja” ujar Suhadi saat dihubungi Tempo, Kamis, 29 Maret 2018.
Baca: PK Ahok Ditolak, FPI Jelaskan Kedekatan dengan Artidjo Alkostar
Majelis hakim MA memutuskan menolak permohonan PK Ahok pada Senin, 26 Maret 2018. Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA Abdullah mengatakan keputusan bulat diketok oleh majelis hakim yang terdiri atas Artidjo Alkostar (ketua), Salman Luthan, dan Sumardjiatmo.
Perkara PK Ahok diterima Kepaniteraan Pidana MA pada 7 Maret 2018 dan dikirimkan ke majelis pemeriksa perkara pada 13 Maret 2018. Ahok mengajukan permohonan PK atas vonis 2 tahun bui yang ia terima atas perkara penistaan agama pada April 2017 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Lalu, beredar kabar bahwa Artidjo memiliki hubungan dengan FPI. Bahkan disebut-sebut dia pernah menjabat Ketua Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia DPP FPI. Artidjo belum memberikan penjelasan soal ini. Hingga berita ini diturunkan, dia belum menjawab panggilan dan pesan dari Tempo.
Menurut Suhadi, pemilihan Artidjo sebagai ketua majelis hakim pemohonan PK Ahok menjadi kewenangan Ketua MA Hatta Ali. Pembagian tugas hakim, tutur dia, menjadi urusan pimpinan.
“Artidjo sebagai Ketua Kamar Pidana MA mempunyai tanggung jawab paling besar terhadap kasus yang masuk. Jadi, kalau ditunjuk oleh pimpinan, itu sudah menjadi wewenangnya” ujarnya.
Ketua KPK Agus Rahardjo (kanan) bersama Ketua Kamar Pengawasan Mahkamah Agung Sunarto (tengah) dan Juru bicara Mahkamah Agung Suhadi melakukan jumpa pers terkait OTT di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan di gedung KPK, Jakarta, 22 Agustus 2017. KPK juga menunjukkan barang bukti transfer uang sebesar Rp 425 juta dalam kasus suap yang mempengaruhi putusan perkara perdata. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
Suhadi mengatakan, selama ini, Artidjo banyak menghabiskan waktu untuk menjalankan tugas hakim agung. Selama di MA, banyak kasus yang telah dia tangani. “Dia sangat produktif. Malah tugas-tugas harus di selesaikan di apartemen. Selain sebagai pimpinan MA, dia banyak juga tugas sampingan,” ucap Suhadi.
Sebelum menjadi hakim agung, kata Suhadi, Artidjo berprofesi sebagai pengacara dan dosen di Yogyakarta. Bahkan, ketika peristiwa Santa Cruz, ia ikut mendampingi tragedi pembantaian di Timor Leste itu.
Simak pula: Ahok Komentari Permohonan PK Ditangani Artidjo Alkostar
“Dia, kalau cerita, ngeri mau diculik di hotel. Kalau cerita mengenai organisasi kemasyarakatan, saya belum pernah mendengar dia aktif di situ,” ujar Suhadi.
Sebelum menjadi hakim agung pada 2000, Artidjo adalah pengacara Human Right Watch Divisi Asia dan menjabat Direktur Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta.
Sejak 1976, Artidjo Alkostar adalah dosen Fakultas Hukum dan Pascasarjana Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, yang juga almamaternya. Lalu, pada 1991, dia mendirikan dan mengelola Artidjo Alkostar and Associates hingga 2000. Di MA, Artidjo menjabat Ketua Kamar Pidana hingga saat ini.