TEMPO.CO, Jakarta - Nenek Kim Nio, 56 tahun, tampak murung, duduk di atas kursi roda di depan teras rumahnya, dekat jalan ditutup, di Gang Tunas III, Kelurahan Sukajadi, Kecamatan Karawaci, Kota Tangerang, Kamis pagi.
Nio terkena serangan stroke, sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan. Nenek Nio stroke dipicu karena kaget rumahnya yang ditempati sejak kecil hendak digusur oleh orang-orang suruhan orang yang mengklaim pemilik tanah, Hertati Suliarta.
"Nenek Nio terkena stroke enam bulan terakhir ini. Dia stress karena memikirkan rumahnya hingga akhirnya jatuh stroke," kata Nunu, tetangga depan rumah Nio, kepada Tempo, Kamis, 12 April 2018.
Nunu mengatakan, di rumah itu, nenek Nio tinggal bersama cucunya. Yang membuat para tetangga miris, setiap kali nenek Nio hendak berobat, harus digotong warga saat melintasi pagar besi yang menutupi Gang Tunas III.
"Karena jalan ditutup, setiap Nenek Nio berobat terpaksa harus digotong bersama kursi rodanya melewati pintu pagar setinggi dua meter," ujar Nunu. Nunu mengatakan, Nio harus digotong lima orang berada di dalam dan luar pagar.
"Kebetulan rumah sakit seberang jalan, jadi kami antar menyeberang jalan. Kemudian ada tetangga lain yang menolong mengantarnya berobat," kata Nunu.
Penderitaan warga sudah berlangsung sejak 2016. Orang suruhan Hertati Suliarta yang mengurung sekitar 500 orang warga di kampung dengan cara membuat pagar besi dan digembok. "Anak saya pernah kecelakaan, tangannya patah. Mau pulang tidak bisa lewat pagar digembok, warga menggotong melewati pagar," kata Sunah, seorang pedagang.
Pemagaran jalan dengan pintu gerbang besi setinggi 2 meter di Gang Tunas III merupakan buntut sengketa di atas lahan 6.965 meter antara warga RT 03,04, 05 RW 05 melawan Hertati Suliarta. Thio Lian Seng, 53 tahun, warga sekitar mengatakan dirinya sudah mendiami tanah tersebut sejak tahun 1969.
Warga turun-temurun mendiami tiga RT di Kelurahan Sukajadi Kecamatan Karawaci Kota Tangerang itu. "Sejak tahun 1970 sampai 2017, warga bayar Pajak Bumi dan Bangunan. Kami memiliki dokumen tanah berupa girik," kata Lian Seng, Selasa, 10 April 2018.
Liang Seng bercerita, tiba-tiba pada 2016 datang seseorang yang mengaku pengacara Hertati Suliarta datang mengklaim tanah di Gang Tunas III merupakan tanah Hertati. "Pengacara itu door to door, menunjukkan fotocopi sertifikat dan minta seluruh warga mengosongkan rumah, sebagian besar warga menolak. Meskipun ada yang kemudian ketakutan dan menerima uang ganti rugi bangunan dan tanah," kata Liang Seng.
Warga yang mulai ketakutan dan terintimidasi itu, kata Liang Seng digugat ke Pengadilan Negeri Tangerang. "Saya sudah ikuti sidang empat kali, tapi kemudian pemilik tanah cabut gugatan. Gugatan dicabut, akses jalan kami malah ditutup dengan pagar tembok bata setinggi dada orang dewasa," kata Liang Seng.
Atas pemagaran tembok itu, akibatnya ratusan warga tua, muda, besar, kecil dari sekitar 200 kepala keluarga kesulitan beraktivitas. "Ibu-ibu membongkar pagar tembok itu dan kami menggugat fasos fasum ke Pengadilan Negeri Tangerang," kata Liang Seng.
Warga pun kerap didatangi orang-orang suruhan Hertati yang dari organisasi kemasyarakatan tertentu. Karena mereka mulai ketakutan, kemudian menunjuk kuasa hukum Arjuna Ginting Soka untuk membelanya.
Ginting mengatakan, saat ini kasus warga itu sudah didaftarkan banding ke Pengadilan Tinggi Banten. "Gugatan warga atas perbuatan melawan hukum (memagar jalan umum)," kata Ginting.
Melihat kondisi warga yang terus menerus mendapatkan tekanan dari orang suruhan Hertati, Ginting dalam waktu dekat melaporkan ke Komnas HAM dan Ombudsman RI. "Hak masyarakat dirampas, apalagi itu jalan umum akses warga yang dibangun pemerintah,"kata Ginting.
Bahkan menurut Ginting laporan warga ke Polsek Karawaci ditolak. "Kami juga akan pertanyakan kenapa warga yang melaporkan perbuatan melawan hukum itu ditolak oleh kepolisian, mereka bahkan disuruh pulang,"ujar Ginting.
Sedangkan pihak Hertati tidak memedulikan warga menggugat banding. "Klien kami (Hertati) punya tanah, walaupun belum diputuskan pengadilan berhak memagari tanahnya," kata Yoni, kuasa hukum Hertati.
Sudah beberapa bulan terakhir ini warga seperti terkurung di kampung sendiri, karena jalan ditutup. Pedagang harus menggotong dagangannya melewati pintu setinggi dua meter, anak-anak sekolah, ibu-ibu mau belanja harus naik pintu pagar, orang sakit bahkan harus digotong melewati pintu besi itu untuk berobat.