TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, menilai harga tiket yang dijual pemerintah untuk kereta MRT dan LRT Jakarta, memberatkan warga jika memberikan layanan integrasi gratis dengan antarmoda lainnya. Pemerintah mengusulkan harga tiket MRT Rp 10 ribu dan LRT Rp 6 ribu.
"Masyarakat akan merada dibebankan jika tidak terintegrasi, apalagi harus membayar lagi. Kalau tidak diantisipasi maka akan membuat warga enggan naik MRT atau LRT ini," kata Joga melalui pesan singkat, Ahad, 10 Maret 2019.
Baca: Ini Asal Usul Rencana Tarif MRT dan LRT Jakarta Rp 10 dan 6 Ribu
Selain itu, tantangan terberat setelah MRT dan LRT dioperasikan adalah menyediakan lahan ojek daring yang biasa digunakan penumpang. Sebab, sebagian penumpang biasanya memanfaatkan ojek daring untuk mengantar mereka dari pintu masuk atau keluar.
"Bandingkan juga dengan upaya penumpang yang naik turun stasiun MRT dan LRT yang tinggi juga. Jadi harus diberikan kemudahan penumpang untuk mencari transportasi lain," kata Joga.
Dengan harga yang bersaing ketat, menurut Joga, bisa jadi penumpang masih memilih menggunakan ojek daring. Misalnya, harga LRT Jakarta yang pendek dari Kelapa Gading ke Velodrome Rp 6 ribu.
Baca: Soal Tarif MRT dan LRT, Anies Sebut Negara Tak Cari Untung
Sedangkan, jika naik ojek daring hanya beda tipis yakni Rp 7-8 ribu untuk rute yang sama. Begitu pula dengan tiket MRT Rp 10 ribu. "Bandingkan juga dengan naik ojek daring dari Lebak Bulus ke Blom M. Apakah masih bisa bersaing," kata Joga.
Menurut Joga, harga yang disediakan pemerintah sudah semestinya termasuk tiket antarmoda lainnya. Sehingga, kata dia, penumpang diberikan harga yang bersaing. "Jika tidak sulit untuk mengajak masyarakat berpindah menggunakan MRT maupun LRT," ujarnya.