TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Penuntut Umum memasukkan nama Menkopolhukam Wiranto dan Menko Bidan Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dalam dakwaan Mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayjen (Purn) Kivlan Zen. Namun, berbeda dari pernyataan polisi sebelumnya, jaksa menyebut Kivlan hanya memerintahkan untuk mengintai kedua orang itu.
Dalam dakwaan yang dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa 10 September 2019, Kivlan didakwa menyerahkan uang Rp 25 juta kepada tersangka kepemilikan senjata api ilegal lainnya, Helmi Kurniawan.
Jaksa Fahtoni menyebut uang tersebut dipakai salah satunya untuk mengintai Wiranto dan Luhut Binsar Panjaitan.
"Saksi Helmi Kurniawan menyerahkan uang sebesar Rp 25 juta yang berasal dari terdakwa kepada saksi Tajudin sebagai biaya operasional survei dan pemantauan guna memata-matai Wiranto dan Luhut Binsar Panjaitan," kata Fahtoni di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa, 10 September 2019.
Awalnya, Fahtoni memaparkan, Kivlan bertemu dengan Helmi dan Tajudin di lantai dua Rumah Makan Padang Sederhana Kepala Gading pada 9 Februari 2019 pukul 12.00 WIB. Kivlan lalu menyerahkan uang 15 ribu dolar Singapura untuk Helmi.
Helmi diminta menukarkan uang tersebut ke money changer dalam bentuk rupiah. Helmi berangkat ke Money Changer Dollar Time Premium Forexindo dan menerima uang tukar senilai Rp 151,5 juta untuk kemudian diserahkan ke Kivlan.
Kivlan mengantongi Rp 6,5 juta untuk keperluan pribadi. Sementara sisanya sebesar Rp 145 juta diberikan kepada Helmi untuk mengganti uang pembelian senjata api laras pendek dan uang operasional Helmi. Dengan uang itu, Kivlan juga memerintahkan Helmi mencari senjata laras panjang kaliber besar.
Menurut jaksa, Kivlan memperoleh uang itu dari politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Habil Marati.
"Terdakwa menyerahkan uang sejumlah 15 ribu dolar Singapura yang berasal dari pemberian saksi Habil Marati kepada saksi Helmi Kurniawan dan meminta saksi Helmi Kurniawan untuk menukarkan uang tersebut di money changer dalam bentuk rupiah," jelas Fahtoni.
Kivlan sendiri didakwa dalam tindak pidana kepemilikan senjata api ilegal. Jaksa menyebutkan bahwa senjata tersebut hanya digunakan untuk menjaga diri.
"Terdakwa memerintahkan saksi Helmi Kurniawan agar menyerahkan senjata api laras pendek jenis mayer warna hitam kaliber 22 mm kepada saksi Azwarmi sebagai senjata pengamanan bagi terdakwa," jelas Fahtoni.
Dakwaan jaksa itu berbeda dari pernyataan polisi. Menurut polisi, senjata api ilegal tersebut akan digunakan oleh Kivlan cs untuk membunuh Wiranto, Luhut dan dua petinggi lainnya, yaitu Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan dan Staf Khusus Presiden Bidang Intelijen dan Keamanan Gories Mere. Nama Budi Gunawan dan Gories Mere bahkan tak disebutkan dalam dakwaan jaksa kepada Kivlan.
Atas kasus kepemilikan senjata api itu, Kivlan didakwa dengan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 atau juncto 56 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.