TEMPO.CO, Jakarta -Majelis hakim memutuskan tak membatasi waktu pengobatan terdakwa perkara kepemilikan senjata api ilegal, Mayjen (Purn) Kivlan Zen.
Hakim ketua, Hariono, tak mau hakim berulang kali memberikan izin kepada Kivlan Zen.
Hakim sebelumnya sudah menyetujui agar Kivlan menjalani pengobatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta. Kini hakim kembali menetapkan agar Kivlan berobat dengan status dibantar.
"Oleh karena itu kami tidak membatasi waktu seperti yang ada di surat ini takut peristiwa yang seperti kemarin terulang. Maka dari itu kami menyatakan terhitung sejak tanggal 3 hingga dinyatakan sehat dan dapat kembali disidangkan," kata Hariono saat membacakan penetapannya di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 3 Oktober 2019.
Penasihat hukum Kivlan sebelumnya mengajukan permohonan agar kliennya bisa berobat di RSPAD Gatot Subroto. Majelis hakim yang menangani perkara Kivlan, dipimpin Hariono, mengabulkan permohonan tersebut.
Dalam surat penetapan hakim tercantum Kivlan diizinkan berobat pada 13-25 September 2019. Hakim juga menetapkan jadwal pengobatan lengkap dengan agendanya. Jadwal ini sesuai dengan waktu yang diusulkan penasihat hukum.
Mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayjen (Purn) Kivlan Zen di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 3 Oktober 2019. TEMPO/Lani Diana
Setelah pengobatan tersebut, hakim kembali mendapatkan surat permohonan agar Kivlan diperbolehlan menjalani operasi pengangkatan corpus alienum yang bersarang di kakinya. Penasihat hukum Kivlan, Tonin Tachta, sebelumnya menyebut ada serpihan granat di dalam kaki Mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayjen (Purn) itu.
"Setelah kami bermusyawarah dengan alasan kemanusiaan, tidak mungkin terdakwa dalam keadaan sakit dihadirkan di persidangan, pada pokoknya kami menyetujui untuk menjalani perawatan dengan status dibantar," ucap Hariono.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum mendakwa Kivlan Zen atas kepemilikan senjata api ilegal. Dia didakwa melanggar Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 atau juncto 56 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.