TEMPO.CO, Jakarta - Sidang gugatan terkait pemanfaatan sumber air Wendit bergulir di Pengadilan Tata usaha Negara, Jakarta Timur, Kamis 10 Oktober 2019. Gugatan diajukan Pemerintah Kabupaten Malang terhadap Pemerintah Kota Malang.
Sidang Kamis menghadirkan tiga ahli dari tergugat, Kota Malang. Ketiganya adalah Philipus Harjono, ahli hukum administrasi negara; Kepala Bidang Ekonomi dan Sumber Daya Alam Kota Malang, Sudarso; dan dosen di Universitas Brawijaya Iwan Permadi.
Dalam keterangannya, Harjono mengatakan bahwa gugatan oleh Pemkab Malang tidak tepat, Menurut dia, yang berhak menggugat ke PTUN adalah rakyat. Alasannya, fungsi PTUN melindungi rakyat terhadap kekuasaan. "Badan pemerintah atau pejabat tata usaha negara tidak bisa mengajukan gugatan di PTUN, ini UU yang harus dipatuhi,” katanya.
Sudarso menyoroti soal klaim kepemilikan Sumber Air Wendit. Dia menepis protes Pemkab Malang atas keterangan dalam Surat Izin Pemanfaatan Air (SIPA) Pemkot Malang ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang menyebut mata air adalah di wilayah kota.
Sudarso berdalih, sumber air Wendit berasal dari hulu Sungai Brantas dan sungai adalah tanggung jawab pemerintah pusat. "Sungai Brantas termasuk sungai strategis nasional,” kata dia.
Iwan Permadi menambahkan bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan sungai lepas dari wilayah sertifikat hak atas tanah. Dia merujuk penjelasan pasal 8 UU Pokok Agraria. “Artinya, kalau ada sertifikat hak pakai itu hanya untuk tanahnya saja, tidak untuk air, sungai, dan lain-lain.”
Sidang gugatan terkait sumber air Wendit bergulir sejak 13 Mei 2019. Pangkalnya, perjanjian kerja sama antara Pemkab Malang dan Pemkot Malang beberapa tahun lalu. Pemkab Malang berkukuh bahwa sumber air Wendit berada di wilayah kabupaten. Pemkab Malang juga menuding Pemkot Malang menyalahi prosedur karena rumah pompa di Desa Mangliawan tidak memiliki IMB dan izin gangguan.
Pemkab Malang mengajukan revisi surat perjanjian kerja sama untuk meluruskan perihal keterangan lokasi sumber air Wendit itu. Pemkab juga menuntut harga air ditinjau ulang dari sebelumnya dibeli Pemkot Malang Rp 80 per meter kubik menjadi Rp 600.
Pemkot Malang menolak permintaan revisi Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air (BJPSDA) sesuai perjanjian lama itu. Pemkab Malang pun tidak terima. Dalam keterangan yang pernah disampaikan, Direktur Utama Perumda Tirta Kanjuruhan Kabupaten Malang, Syamsul Hadi, menyatakan kerja sama harus saling menguntungkan. Sebab, air yang diambil Kota Malang dijual untuk bisnis sehingga PDAM Kota Malang memiliki profit.
Dalam sidang Kamis tidak ada keterangan yang diberikan dari kubu penggugat. "Minta ke humas Pemkab saja," kata seorang diantaranya yang juga menolak memberikan namanya untuk dikutip.