TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memutuskan mencabut kembali penghargaan Adikarya Wisata 2019 yang sudah diberikan kepada Colosseum Club 1001. Alasannya, Pemda DKI pernah menerima rekomendasi BNN DKI pada Oktober lalu agar menutup diskotek yang berlokasi di kawasan Pinangsia, Jakarta Barat, itu terkait kasus narkoba.
Temuan peredaran narkoba dua bulan lalu disorongkan Anies ketimbang surat protes dari ormas Front Pembela Islam atau FPI yang beredar Minggu 15 Desember lalu. "Kesalahan fatal," kata Anies menunjuk pemberian Adikarya Wisata 2019 untuk Colosseum.
Lalu benarkah ada peredaran narkoba di diskotek yang dikenal dengan disjoki impor dan pole dance seksinya itu? Hingga artikel ini dibuat, belum ada penjelasan dari manajemen Colosseum.
Tempo pernah datang berniat meminta keterangan pada Sabtu malam 14 Desember lalu, tapi terhalang petugas sekuriti setempat. Saat itu Adikarya untuk Colosseum masih viral di media sosial. Penghargaan itu diterima Colosseum pada 6 Desember sebelum dicabut kembali 16 Desember.
Penjelasan sejauh ini datang dari Ketua Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta Hana Suryani. Menurutnya, manajemen Colosseum tak terbukti terlibat dan memfasilitasi penyalahgunaan narkoba dalam temuan Oktober lalu. "Penyalahgunaan narkoba bisa dilakukan di mana saja," katanya mengingatkan.
Tempo lalu bertemu Erik (28 tahun), pengunjung Colosseum. Seturut pengalamannya, menenggak ekstasi sangat pas untuk menikmati dentuman musik yang dihela disjoki di Colosseum.
"Dengan musik yang bagus seperti di Colosseum, agar lebih high memang enaknya tambah itu. Kalau sudah pakai ekstasi, tidak perlu lagi minuman alkohol. Cukup softdrink kita bakal lebih enak joget sampai pagi," ujarnya menuturkan.
Erik menambahkan, pengunjung Colosseum biasanya membawa sendiri narkotika dari luar. Sebab, klub malam itu tidak menyediakan. "Gue pernah nyari ke karyawannya, gak ada. Kalau di Colosseum setahu gue emang di sana gak sediain narkoba," ujarnya sambil menambahkan pengawasan yang cukup ketat oleh petugasnya.