TEMPO.CO, Jakarta - Dusun Ranca Nangka, Sukajaya, Kabupaten Bogor kini hilang setelah diterjang longsor pada 1 Januari 2020 lalu.
Sebanyak 120-an rumah yang ada di dusun itu rata dengan tanah, hanya tersisa dua yang masih terlihat, tapi itu pun rusak parah.
Dusun di kaki Gunung Halimun itu kini ditinggal pergi penghuninya. Warga setempat, Jamaludin 69 tahun, mengatakan bencana longsor itu menghancurkan sepenuhnya kampung tersebut. "Penduduk sudah tak punya apa-apa lagi," kata Jamal yang mengaku dirinya sebagai ketua RW sejak era Presiden Suharto.
Selain rumah dan bangunan gedung fasilitas umum seperti rumah ibadah, sekolah dan madrasah, sawah ladang dan perkebunan milik warga pun hilang tak bersisa. Juga kandang ternak berikut isinya, raib ditelan ganasnya longsor. Jamal mengatakan, sulit baginya mempercayai bencana longsor menggulung kampungnya. Pasalnya sejak puluhan tahun lalu, bencana tidak pernah seganas saat ini.
Dulu kalau pun ada hujan besar, paling melongsorkan tebing gunung dan itu pun jauh dari permukiman. "Kini warga 776 jiwa mengungsi di Cipugur," ucap Jamal.
Namun demikian, Jamal menyebut sebelum bencana terjadi, tokoh ketua adat setempat yang dipanggil Pu'un mengaku diberi pesan oleh penunggu gunung.
Sang Pu'un, kata Jamal, meminta dia untuk memberitahu warga Dusun Ranca Nangka secepat mungkin meninggalkan kampung.
Menurut Pu'un, sang penunggu gunung yang disebut Mbah Putih atau bernama Raden Lanang Buana sudah tak kuat menahan dan menjaga gunung.
Sehingga Mbah Putih pun, kata Jamal, akan kembali ke gunung Cirebon. "Ya itu percaya atau tidak kembali ke diri masing-masing, tapi kami sebagai pelaku adat percaya akan hal itu," ucap Jamal.
Belum sempat semua pergi dari kampung, tapi longsor keburu datang. Beruntung, kata Jamal, kejadian longsor pada pagi hari. Saat itu kampung sepi, karena anak-anak pergi ke sekolah, sementara orang tua pergi ke ladang.
Warga Ranca Nangka yang berada di ladang melihat langsung bagaimana gunung ambrol dan menimpa kampung. Saat itu semua lari meninggalkan ladang dan menjauh sejauh mungkin. "Kalau kejadiannya (longsor) malam saat kami tidur, saya kira dari kami pun tidak ada yang tersisa, mati semua," kata Jamal.
Kini. kata Jamal, masyarakat setempat menyebut kampung itu sebagai Jang Jin. Dalam bahasa Sunda, ini berarti kampung jin.
Jamal dan beberapa warga kampung lain melarang Tempo mendatangi kampung tersebut.
Alasannya mereka menyebut, warga asli sana pun sudah tidak ada yang mau atau diijinkan ke sana, apalagi pendatang, karena sangat berbahaya dan sarat dengan mistis. Sehingga mereka kompak mengatakan, "Biarlah kampung itu kosong kami tinggalkan, Jang Jin."