Sekretaris Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta Achmad Yani melihat pengawasan terhadap kepatuhan protokol kesehatan di perkantoran masih belum optimal. Sebabnya, jumlah pengawas dari Dinas Tenaga Kerja DKI tidak berimbang dengan banyaknya perkantoran yang ada di Jakarta.
Dinas Tenaga Kerja DKI hanya mempunyai puluhan tenaga pengawas. Sedangkan, jumlah perkantoran di DKI lebih dari 78 ribu perusahaan. “Pengawasan jadi lemah, ini harus menjadi perhatian,” tegas Yani.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan pemerintah harus fokus mengawasi perkantoran selama masa transisi ini. Alasannya, pekerja menjadi komunitas yang rentan terpapar virus karena interaksi mereka dari mulai berangkat, masuk hingga pulang kerja. "Setiap interaksi pasti meningkatkan risiko."
Menurut dia, perusahaan juga perlu meningkatkan pengawas pekerja saat masuk ke kantor atau lembaga. Caranya dengan melakukan pengawasan ketat pegawai yang masuk kantor. Tri menyarankan perusahaan menggelar rapid test atau uji usap untuk pengawasan internal mereka terhadap pegawai yang masuk kerja. "Paling tidak dilakukan tes kesehatannya setiap sebulan atau dua bulan sekali sebagai screening karyawan," ujarnya.
Selain itu, Tri menyarankan pemerintah menutup perkantoran di zona merah. Menurut dia, karyawan yang bekerja di kawasan zona merah bakal lebih rentan tertular virus ini. "Kantornya aman, tapi di luarnya zona merah itu kan jadi bahaya," ujarnya. "Karena saat istirahat banyak karyawan keluar kantor dan kontak mereka dengan orang di luar itu yang berbahaya."
Adapun data dari Dinas Kesehatan pada rentang yang sama menunjukkan selain klaster perkantoran, penularan virus di Jakarta telah terjadi melalui banyak klaster. Klaster yang paling banyak menyumbang kasus baru adalah transmisi lokal yang telah terbentuk di 283 klaster pemukiman dengan total 1.178 orang, pasar sebanyak 107 klaster (555), fasilitas kesehatan 124 klaster (799) dan rumah ibadah 9 klaster (114)