"Tapi mediasi tersebut tidak tercapai, karena perwakilan dari PTC enggak hadir," kata Chandra.
Bakda Asar keesokan harinya, kata Chandra, pihak PTC melakukan penggusuran rumah warga yang dinilai sepihak karena tanpa surat eksekusi pengadilan. Alat berat disebut mencoba meruntuhkan sebuh bangunan. Melihat kejadian itu, warga dan mahasiswa spontan melawan. Mereka juga merebut PAUD serta portal pintu masuk Pancoran Buntu II.
"Malamya ada serangan itu, seolah-olah nggak terima."
Saat Tempo mendatangi lokasi, pemandangan di Pancoran Buntu II morak-marit. Besi-besi tiang pancang menyembul dari dinding rumah yang setengah roboh di sekitar PAUD. Masuk lebih menjorok di Pancoran Buntu II, banyak titik di mana bangunan rata dengan tanah.
Tidak seperti bangunan-bangunan lain di sekitar PAUD yang bersifat permanen, rumah-rumah di area belakang mayoritas terbuat dari triplek dan seng. Rumah atau lapak yang belum roboh hingga saat ini adalah milik mereka yang menolak penggusuran paksa dari PT Pertamina.
Kuasa hukum ahli waris keluarga Mangkusasmito Sanjoto yang bersengketa dengan Pertamina, Edi Danggur menjelaskan bahwa kasus ini bermula saat Sanjoto dan rekannya, Anton Partono serta tiga orang lain berencana membeli lahan di Pancoran Buntu II. Sanjoto bertindak sebagai penyedia uang, sementara Anton Cs bernegoisasi.
"Secara diam-diam, Anton Partono menjual lahan ke PT Nagasastra Jayasakti. Kemudian isunya PT Nagasastra mau menjual ke Pertamina," kata Edi.
Karena ada isu rencana pembelian tanah oleh Pertamina, Sanjoto melalui pengacaranya Sudarto Gautama, membuat pengumuman bahwa lahan itu masih dalam sengketa. Pengumuman dibuat di tiga media massa, yakni Kompas, Sinar Harapan dan Berita Buana pada tahun 1970-an.
Sudarto juga menyurati langsung direksi Pertamina agar jangan membeli tanah tersebut pada 6 Agustus 1973. "Namun ternyata tetap dibeli sama Pertamina," kata Edi.
Sejumlah tulisan penolakan penggusuran berada di tembok di kawasan pemukiman warga jalan Pancoran Buntu II, Pancoran, Jakarta Selatan, 21 Maret 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis
Sanjoto lantas menggugat Anton Cs ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat-Selatan. Sengketa berlangsung hingga ke Mahkamah Agung atau MA. Sanjoto memenangkan kasasi. Sebagai landasan kepemilikan lahan di Pancoran Buntu II, ia mengantongi putusan MA Nomor 1675K/Sip/1975.
"Dalam gugatan Sanjoto kepada Anton, Pertamina dinyatakan sebagai pembeli yang beritikad buruk. Sertifikat yang mereka miliki itu batal demi hukum," ucap Edi.
Beberapa tahun berselang, kata Edi, Pertamina melakukan Peninjauan Kembali atau PK dan menang. Edi mengatakan Pertamina mengantongi putusan MA berupa bantahan atas sita jaminan dan sita eksekusi. Namun menurut Edi, hak Sanjoto atas lahan tersebut tidak gugur.
Baca juga : BEM UI Ungkap Kronologi Sengketa Lahan di Pancoran Buntu II Sejak 1973
"Putusan MA yang memenangkan Sanjoto sampai detik ini tidak pernah dibatalkan. Hak Sanjoto yang sudah dieksekusi sama sekali tidak dibatalkan," kata Edi.
Senior Vice President Corporate Communication and Investor Relation Pertamina, Agus Suprijanto, sebelumnya membantah pihaknya telah menggusur warga Pancoran Buntu II. Menurut dia, Pertamina hanya tengah memulihkan aset mereka di wilayah tersebut.
"Aset itu secara sah dimiliki Pertamina berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA)," kata dia dalam keterangannya kepada Tempo, Jumat, 19 Maret 2021.
Agus menuturkan, rencananya aset itu akan digunakan untuk kepentingan negara. Dia tak merinci kepentingan yang dimaksud. Pertamina, kata dia, melalui anak perusahaan Training & Consultant (PTC), telah melakukan sosialisai prapelaksanaan pemulihan aset BUMN.
PTC juga disebut telah membuka posko komunikasi untuk para tokoh dan warga Pancoran tersebut. "Agar mengetahui informasi tentang status lahan dari aspek legal," ujar dia.
M YUSUF MANURUNG