TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati mempertanyakan sikap sekelompok nelayan yang mendukung rencana reklamasi Teluk Jakarta.
"Perlu kejelasan siapa yang bicara atas nama nelayan. Karena kalau nelayan yang benar, dia sangat tahu bagaimana dampak penimbunan pasir itu mematikan mata pencarian nelayan," kata Susan melalui pesan singkatnya, Jumat, 26 Maret 2021.
Sebelumnya Komunitas Nelayan Muara Angke berharap proyek reklamasi di Teluk Jakarta kembali dilanjutkan. Mereka mengatakan masyarakat di sekitar Muara Angke saat ini kesulitan secara ekonomi karena pandemi Covid-19 dan kondisi cuaca yang tidak menentu.
Ketua Komunitas Nelayan Muara Angke Diding Setiawan berharap para nelayan bisa terlibat sebagai pekerja pada pembangunan Pulau G. Selama ini masyarakat Muara Angke mengandalkan pendapatannya sebagai nelayan, namun hasil tangkapan ikan saat ini sulit diandalkan karena cuaca tidak mendukung.
Alasan lain melayan minta pembangunan pulau reklamasi dilanjutkan karena masalah limbah juga berpengaruh terhadap hasil tangkapan. "Akibat limbah dari 13 muara sungai ke laut membuat hasil tangkapan ikan terus menipis," kata Diding.
Meski demikian, Sekjen Kiara menduga kelompok nelayan yang mendukung reklamasi bukan berbicara terkait kepentingan mereka. Sebab, reklamasi merupakan kegiatan yang sangat jelas merugikan nelayan. "Jangan-jangan yang bicara adalah orang-orang yang bukan nelayan, tapi makelar reklamasi yang ingin meneruskan proyek reklamasi ini."
Reklamasi pantai di mana pun, kata dia, akan menutup kolom air dengan pasir. Artinya di dalam kolom air itu akan ada ekosistem yang rusak karena ditimbun material pasir, baik itu terumbu karang, ikan, kerang, dan biota laut lainnya.
"Ini akan berdampak pada rantai pangan atau siklus hidup komoditi tertentu. Kerusakan itu bukan hanya dirasakan di area yang ditimbun, tapi juga dari mana pasir itu berasal."
Baca juga: Minta Proyek Reklamasi Dilanjutkan, Nelayan Muara Angke: Tangkapan Ikan Sulit
Di reklamasi Teluk Jakarta, pasir diambil dari Banten. "Itu bisa dicek dari nelayan dan perempuan nelayan yang kehilangan 50 persen hasil tangkapnya setiap hari karena lautnya dirusak," ujarnya.