TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi diminta untuk segera menarik rem darurat dan memutuskan pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB karena kondisi pandemi sudah gawat.
"Tolong Pak Jokowi, kondisi sudah darurat. Jangan sampai ini semakin gawat, dan akhirnya kita semua tersapu banjir bandang yang sebenarnya sudah kita ketahui ancamannya, tapi telat kita tanggulangi," kata Wakil Ketua Komisi IX DPR Charles Honoris dalam keterangan tertulis di Jakarta, Ahad, 27 Juni 2021.
Ia mengatakan angka kasus harian Covid-19 yang terus mencetak rekor dari hari ke hari menunjukkan kurva infeksi di Indonesia sedang terus menanjak dan belum tahu titik puncaknya sampai di mana.
Pasien COVID-19 dirawat di tenda darurat di RSUD Kramat Jati, Jakarta, Jumat, 25 Juni 2021. Pemprov DKI menambah kapasitas Rumah Sakit COVID-19 yang semula sebanyak 103 menjadi 140 RS khusus COVID-19. Tenda darurat pun dipasang di halaman RSUD Kramat Jati dikarenakan melebihi kapasitas. TEMPO/Muhammad Hidayat
Menurut politikus PDIP ini kurva yang meroket bahkan nyaris vertikal ini mirip dengan kurva infeksi India pada April lalu, yang membuat negara tersebut lumpuh karena tingkat penularan yang sangat tinggi.
Charles mengatakan, upaya pemerintah mengetatkan PPKM mikro patut diapresiasi. Tapi melihat angka kasus Covid-19 harian yang terus mencetak rekor belakangan ini, PPKM Mikro dinilai sudah tak lagi efektif untuk meredam laju penularan di hulu.
"Angka keterisian tempat tidur (BOR) fasilitas kesehatan di hilir, seperti di lima provinsi Pulau Jawa sudah merah, di atas 80 persen," ujar Charles.
Presiden Jokowi, kata dia, perlu menerapkan PSBB secara nasional atau setidaknya penguncian di Pulau Jawa. Ini akan berimplikasi pada penutupan secara total terhadap sekolah, pusat perbelanjaan dan perkantoran. Kecuali pada beberapa sektor tertentu yang memang diizinkan untuk tetap buka.
Menurut Chalres, tanpa pembatasan mobilitas besar-besaran di hulu maka penambahan kapasitas faskes sebanyak apapun di hilir tetap tidak akan memadai.
Apalagi, lanjut dia, tidak semua provinsi memiliki kapasitas faskes yang sama. Kapasitas faskes di Pulau Jawa tentu berbeda dengan kapasitas di Indonesia Timur.
"Kita tentu tidak ingin, jika tanpa pembatasan sosial besar-besaran, provinsi lain seperti di Indonesia Timur, yang BOR faskesnya saat ini masih hijau, menjadi kacau balau seperti faskes Pulau Jawa sekarang," kata Charles.
Ia menekankan bahwa faskes di hilir tidak akan kuat meredam "banjir bandang" kalau angka penularan dari hulu sangat deras.
"Derasnya penularan COVID-19 di hulu harus kita redam sedini mungkin dengan pembatasan sosial besar-besaran," kata Charles.
Suara agar Jokowi menarik rem darurat juga diungkapkan oleh beberapa tokoh negara ini. Dalam video yang dibagikan lewat media sosial, tokoh seperti Imam Prasojo, Alissa Wahid, Mustofa Bisri, Faisal Basri, Abdillah Toha, Yanuar Nugroho, Franz Magnis Suseno, dan Nadirsyah Husein.
Dalam video berjudul Tarik Rem Darurat itu, Alissa Wahid mengatakan, kita harus mencari cara baru untuk menangani pandemi ini.
"Sebab seperti kata Einstein, mengulang ulang hal yang sama, tetapi mengharapkan hasil yang berbeda adalah ketidakwarasan," kata Koordinator Nasional Jaringan GusDurian ini.
Sementara KH A. Mustofa Bisri meminta pemerintah melakukan tindakan yang tegas, yang jelas untuk menanggulangi pandemi ini. "Mudah mudahan kita bisa sama sama kompak menghadapi cobaan ini," kata pria yang akrab disapa Gus Mus ini.
Mantan Menteri Pertambangan dan Energi Kuntoro Mangkusubroto pun meminta pemerintah segera menarik rem darurat. "Sudah saatnya pemerintah tarik rem darurat," ujar dia.
#jagajarak
#cucitangan
#pakaimasker
Baca juga: DKI Tak Tarik Rem Darurat, Wagub: Kewenangan di Pemerintah Pusat