TEMPO.CO, Jakarta - Kriminolog dari Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, mengatakan kasus polisi dibegal di Jatisampurna, Bekasi, beberapa hari lalu tak lepas dari faktor tempat kejadian perkara yang berada di pinggiran kota. Menurut dia, fasilitas umum di daerah pinggiran tidak sebanyak di tengah kota.
"Sebenarnya ini bukan fenomena Bekasi saja, tapi fenomena pinggiran kota yang sepi dan kurang penerangan jalannya. Sehingga begal lebih mudah terjadi, khususnya pada dini hari. Dengan kata lain, bisa terjadi dimana saja," katanya saat dihubungi, Kamis, 17 Februari 2022.
Menurut Adrianus, komplotan begal ini memilih korban secara random. Mereka hanya melihat siapa saja yang melintas. "Mereka, kan, tidak tahu itu polisi, korban Brimob yang tidak menggunakan seragam lalu dipilih sebagai korban," tuturnya.
Adrianus pun menyarankan agar kepolisian meningkatkan patroli di malam hari terutama di daerah-daerah pinggiran kota. Terlebih pemberlakuan PPKM membuat jalanan makin sepi.
Terkait para pelaku yang mayoritas masih pelajar, Adrianus menilai masih ada kaitannya dengan pandemi yang memaksa mereka terpaksa lebih banyak di dalam rumah. "Ada kemungkinan karena dampak dari terlalu lamanya sekolah daring. Anak-anak itu menjadi bosan di rumah. Anak ingin keluar rumah, dan sekali keluar seperti orang kalap,” ujar dia.
Selain itu, kata Adrianus, para pelaku yang masih remaja rentan diracuni pikirannya. Salah memilih pergaulan bisa menjerumuskan mereka untuk melakukan tindakan kriminal, salah satunya melakukan begal.
Ia menduga para pelajar ini berani membegal karena dipengaruhi minuman keras dan dilakukan secara berkelompok. "Karena melakukannya bersama-sama, dalam kegelapan dan dengan kendaraan pula, maka mereka menjadi berani. Kan rame-rame. Mereka berpikir akan selalu anonim. Namanya juga pemikiran anak-anak," kata Adrianus.
Baca juga: Polisi Sebut Komplotan Pembegal Anggotanya di Bekasi Sering Berulah