TEMPO.CO, Jakarta - Berita Top 3 Metro kemarin masih mengulas isu tentang bocah mati batang otak di Bekasi, Benediktus Alvaro Darren (7 tahun). Guru Besar dari Universitas Indonesia dan Universitas Padjajaran memberikan pandangannya mengenai dampak dan penyebab kematian pascaoperasi amandel.
Informasi kedua adalah konflik agraria antara warga Rumpin Bogor dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU). Ratusan warga kampung Cibitung dan Malahpar, Desa Sukamulya, Rumpin menggelar aksi menolak pengukuran lahan dan meminta tidak ada Rempang kedua.
Laporan ketiga yang terbanyak dibaca soal Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi melarang pejabat DKI terlibat pinjaman online alias pinjol. Dia menyinggung contoh kasus di Kelurahan Kelapa Gading Barat.
Tempo telah merangkum ketiga berita Top Metro tersebut yang dapat dibaca di bawah ini.
1. Bocah mati batang otak
Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Kesehatan Anak di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rini Sekartini, menjelaskan bahwa dampak dari tindakan operasi amandel dapat saja terjadi. Tetapi, dia menambahkan, ketika berdampak besar perlu dianalisis menyeluruh dan diketahui penyebabnya.
"Setiap tindakan pastinya ada step step yang harus dijalankan, dan pasti harus aman dan nyaman untuk pasien," katanya saat dihubungi pada Selasa, 3 Oktober 2023.
Rini dimintai tanggapannya atas dugaan malpraktik di Rumah Sakit Kartika Husada, Jatiasih, Kota Bekasi. Pasien anak Benediktus Alvaro Darren (7) malah koma dan didiagnosis mati batang otak setelah menjalani operasi amandel pada 19 September lalu.
Kondisi Alvaro terus memburuk dan akhirnya meninggal pada Senin malam, 2 Oktober 2023. Dia menjalani operasi amandel bersama kakak kandungnya karena keluhan awal sakit di tenggorokan dan telinga. Kakaknya kembali pulih usai operasi.
Ketua Kolegium Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Indonesia Universitas Padjajaran, Yoni Faudah, juga menegaskan bahwa kematian pascaoperasi harus menjadi perhatian dan perlu dilakukan diketahui penyebabnya.
Asesmen, kata dia, perlu dilakukan untuk mengetahui apakah kematian tersebut akibat langsung dari tindakan operasi, tindakan pembiusan, atau justru faktor penyakit dan kondisi pasien. Ditambahkan Yoni, asesmen akan membuka berbagai kemungkinan lainnya, termasuk faktor kelalaian, kesalahan, atau malpraktik seperti yang disampaikan keluarga pasien.
“Sayangnya cara untuk mengetahui sebab pasti kematian adalah autopsi yang sering kali sulit diterima oleh keluarga,” kata Guru Besar Bidang Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal ini, dikutip dari ANTARA.
Baca selengkapnya di sini.
Selanjutnya tentang konflik TNI-warga Rumpin