Bivitri menjelaskan pelaporannya itu, bagi dirinya, bukan untuk menjegal kandidat, tapi lebih kepada tanggung jawab kaum intelektual. "Bayangkan saya harus ngajar di depan mahasiswa, saya bilang MK adalah the guardian of constitution, dengan mudahnya teman-teman sebagai mahasiswa bisa langsung tunjuk tangan, 'Sorry bu nyatanya enggak begitu', kan itu yang harus dilawan," katanya yang kembali menegaskan perihal cara berpolitik, bukan umur.
Alasan Bivitri, putusan perkara No 90/PUU-XXI/2023 mengenai syarat maju sebagai capres dan cawapres berusia paling rendah 40 tahun, yang kemudian ditambahkan MK atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah, sangat jelas hanya ditujukan kepada Gibran.
Dia menunjuk ke pemohon sidang uji materi itu yang adalah mahasiswa dari Solo yang mengaku mengidolakan Gibran. "Dia kecewa, sebab dia jadi tidak bisa memilih Gibran karena belum berusia 40 tahun, yang kemudian (lewat putusan MK) diberikan jalan oleh pamannya (paman Gibran), ditambahkan kata-kata itu, itu yang terjadi," kata Bivitri.
Jadi, dia menambahkan, jika rakyat jelata usia mau 36 atau 20 tahun jika belum pernah menjadi bupati, gubernur atau anggota DPR, karena frasanya dipilih oleh pemilu, jangan berharap bisa jadi capres atau cawapres. "Jadi ini bukan untuk anak muda, putusan itu untuk Gibran, karena spesifik sekali di situ, siapa yang sekarang memenuhi kualifikasi itu, cuma dia (Gibran)."
Tapi, kembali, Bivitri menyatakan ini semua bukan Gibran atau tidak, atau bukan dirinya yang juga sebagai pelapor dan kalah di MK, tetapi soal negara hukum Indonesia. Sebab, menurutnya, baru sekali dalam sejarah bangsa Indonesia negara hukum dirusak sedemikian rupa di mana MK yang seharusnya menjadi wasit dalam pertandingan diseret sebagai pemain.
"Misalkan ada pertandingan sepak bola 11 lawan 11, sekarang wasit jadi pemain ke 12, bayangkan nanti dalam pertandingan (pilpres) Februari dan seterusnya, apakah semua wasit tidak akan netral, apakah ini adalah pemilu yang fair," kata Bivitri.
Yang harus dikritik adalah cara berpolitiknya, karena pemilu bukan hanya ke TPS, mencoblos atau tidak, tapi keseluruhan proses harus dengan cara yang fair untuk semua orang.
"Kalau dimulainya dengan cara tidak fair, jangan harap di ujung kita akan mendapatkan pemimpin yang betul-betul demokratis dan bisa membawa bangsa ini jadi seperti harapan kita semua," katanya sambil menambahkan, "Anak muda itu soal cara berpikir, bukan angka umur."
Pilihan Editor: Kualitas Udara Jakarta Tidak Sehat, tapi Tidak Separah Lahore dan Delhi