TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menanggapi bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri yang mengajukan praperadilan lagi. Dia mengatakan memang tidak ada aturan jelas mengenai batasan pengajuan praperadilan.
"Jadi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan termasuk KUHP pengaturan praperadilan itu kurang jelas, termasuk soal batasam berapa kalo praperadilan itu dapat diajukan," kata Zaenur saat dihubungi, Rabu, 24 Januari 2024.
Lantaran tidak ada kejelasan batasan dalam aturan itu, Zaenur mengatakan ada pihak-pihak yang menafsirkan bisa mengajukan praperadilan lebih dari sekali. "Kemudian ditafsirkan praperadilan itu dapat diajukan berkali-kali, ya itu hak Firli Bahuri," ujarnya.
Namun, menurutnya, prinsip dasar suatu perkara tidak dapat diadili dua kali atau ne bis in idem. "Kecuali seperti praperadilan MK atas alasan berbeda, dalil berbeda atau argumentasi yang berbeda yaitu barulah satu perkara dapat diperiksa lagi," ucapnya.
Meski itu hak Firli Bahuri mengajukan gugatan lagi, kata dia, majelis hakim tidak perlu mengabulkannya. "Tentu harus diperiksa, tapi nanti di dalam putusannya tidak perlu dikabulkan," ucapnya.
Firli Bahuri mengajukan gugatan praperadilan lagi pada 22 Januari 2024. Padahal gugatan pertamanya dengan termohon Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Karyoto atas penetapan tersangka dalam kasus pemerasan terhadap Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo sudah ditolak oleh hakim tunggal Pengadilan Negeri atau PN Jakarta Selatan.
Menanggapi fenomena pengajuan praperadilan lagi, Zaenur mengatakan harusnya regulasinya diperbaiki. "Ini juga untuk menjadi PR memperbaiki ketentuan perundang-undangan yang mengatur soal praperadilan, khususnya dalam KUHP untuk mengatur batasan praperadilan," ujarnya. Tidak adanya batasan praperadilan, menurut Zaenur, menimbulkan ketidakpastian hukum.
Pilihan Editor: Praperadilan Jilid Dua Firli Bahuri Digelar Pekan Depan, Dipimpin Hakim Estiono