TEMPO Interaktif, Tangerang: Prita Mulyasari mengakui jika ada yang tidak beres terhadap tubuhnya ketika mengkonsumsi obat yang diberikan dokter Rumah Sakit Omni Internasional saat ia dirawat. ”Saya merasa ada yang tidak enak dan tidak beres dengan dokter dan obat-obatan yang saya minum,” ujarnya saat silaturahmi dengan puluhan Ibu-ibu di Kepala Dua, Tangerang, Minggu (21/6).
Ketidakberesan dan perasaan tidak nyaman itulah yang mendorong Prita banyak bertanya dan kritis akan layanan para dokter dan rumah sakit selama tiga hari dirawat di rumah sakit itu. Ia juga mendesak pihak rumah sakit memberitahukan dengan jelas penyakit apa yang dideritanya. Ia juga mendesak agar rekam medis tentang riwayat penyakitnya diberikan.
Prita mengaku pertamakali dirawat di RS Omni 7 Agustus 2008 , hasil diagnosa saat itu ia menderita demam berdarah dengue dengan jumlah trombosit 27 ribu. Saat itu di harus dirawat inap dan langsung ditangani oleh dokter Hengky Gozal. Malam itu juga dokter memberikan tindakan medis, infus dan suntikan obat-obatan tanpa memberikan penjelasan.
Keesokan harinya, dokter Hengky memberikan revisi trombosit menjadi 181 ribu. Tanpa memberikan penjelasan dokter kembali memberikan bermacam-macam suntikan serta obat-obatan dalam jumlah yang banyak. Prita mulai takut dan curiga akan penyakit ia alami sebegitu parahkah?
Berdasarkan salinan resep yang didapatkan Tempo, selama dirawat di Rumah Sakit Omni International, Prita mendapat suntikan (injeksi) antibiotik Ceftriaxone. Data cetak resep rawat inap RS Omni International tanggal 8, 9, dan 11 Agustus 2009 Prita mendapat injeksi berisi zat aktif Ceftriaxone, yang merupakan generasi ketiga golongan senyawa Sefalosporin.
Mengacu pada keterangan data produk situs resmi produsen produk tersebut, suntikan Ceftriaxone digunakan bagi penderita infeksi yang disebabkan mikroorganisme sensitif. Antibiotik tersebut lazim digunakan untuk mengobati penyakit infeksi di area pernafasan bagianbawah, saluran urin, gonorhoe, tulang dan sendi, perut bagian dalam, juga meningitis.
Pemberian injeksi Ceftriaxone berisiko mengakibatkan iritasi. Harga njeksi Ceftriaxone tidak murah. Tertulis pada salinan resep, Prita harus membayar kurang lebih tiga juta rupiah untuk injeksi tersebut.
Selain menerima injeksi Ceftriaxone, Prita juga mendapat injeksi Ranitidine HCl, yang lazim digunakan sebagai obat maag, dan injeksi multivitamin. Berdasar resep, dalam sehari, Prita bisa mendapat lima suntikan. Demam berdarah, penyakit yang didiagnosis dokter atas Prita, merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti.
Kini Prita tengah berupaya mencari tahu dan berkonsultasi dengan ahli farmasi atau dokter untuk menanyakan dan meneliti apakah obat-obatan dan berbagai macam suntikan yang ia terima sesuai dengan penyakitnya atau tidak. Menurut Prita, bahan ini juga akan menjadi catatan utama pihaknya dalam mengajukan gugatan balik terhadap RS Omni dan melaporkan dugaan malpraktik dokter yang menanganinya. Menurut Prita gugatan balik dan laporan tersebut kini dalam persiapan tim kuasa hukumnya.
Sebelumnya, Kuasa Hukum Prita Mulyasari, Samsu Anwar menyatakan berbagai jenis obat yang dikonsumsi oleh Prita yang diberikan oleh dokter Rumah sakit Omni Internasional Serpong diduga tidak layak untuk seseorang yang didiagnosa penyaki demam berdarah. ”Apalagi dengan trombosit 181 ribu,” ujarnya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Samsu mengatakan obat-obat tersebut tidak sesuai dengan diagnosa dokter terhadap penyakit Prita. Menurutnya, ia telah meminta masukan dari para dokter untuk menjelaskan resep obat yang diberikan kepada Prita dan menyatakan obat itu tidak layak. ”Namun berbagai pihak tersebut keberatan dan mereka tidak mau bersaksi secara terang-terangan,” kata Samsu
Untuk itu, kata dia, pihaknya akan membawa hal ini ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
JONIANSYAH