TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah akademisi yang tergabung dalam Forum Guru Besar, tokoh masyarakat sipil, pegiat Hak Asasi Manusia, hingga aktivis 98 mendatangi Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) pada hari ini, Rabu, 28 Agustus 2024. Mereka menuntut pertanggungjawaban Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo atas tindakan represif aparat dalam menangani demonstrasi yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia baru-baru ini.
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, salah satu perwakilan forum itu, menyampaikan keberatannya terhadap kebijakan keamanan kepolisian yang dinilai berlebihan dalam merespons aksi-aksi protes yang seharusnya bisa berlangsung damai. "Kami ingin mempertanyakan mengapa kebijakan keamanan kepolisian bersifat represif terhadap mahasiswa yang menggelar aksi-aksi yang sangat damai," ujar Usman di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu, 28 Agustus 2024.
Menurut Usman, tindakan represif aparat kepolisian sering kali tidak proporsional. Dia menyebut seperti penggunaan gas air mata, pemukulan, penendangan, dan kekerasan lainnya terhadap para demonstran. Tidak hanya itu, aktivis 98 ini juga menyoroti kasus penangkapan dan penahanan yang dianggap sewenang-wenang, termasuk terhadap anak-anak.
"Kami meminta pertanggungjawaban Kapolri atas keseluruhan tindakan kekerasan polisi dalam menangani unjuk rasa damai di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan di berbagai wilayah lainnya," katanya.
Para akademisi menegaskan, langkah mereka mendatangi Mabes Polri adalah untuk menuntut perubahan pendekatan kepolisian dalam menangani demonstrasi. Audiensi ini bertujuan agar aparat negara tidak lagi menggunakan kekerasan yang tidak diperlukan dan lebih menghormati hak-hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum.
Mereka berharap, Polri dapat segera mengkaji ulang kebijakan keamanan dan mengambil tindakan tegas terhadap aparat yang bertindak di luar batas.
Audiensi ini diwakili oleh sejumlah aktivis dan akademisi. Berdasarkan pantauan Tempo, mereka datang ke Mabes Polri sekitar pukul 14.30 WIB. Selain Usman Hamid, hadir Alif Iman, Todung Mulya Lubis, Guru Besar FH UI, Sulistyowati Irianto, Dosen STF Driyarkara, Romo Simon Lili dan masih banyak lagi.
Demonstrasi Kawal Putusan MK pecah di berbagai kota pada akhir pekan lalu. Di Jakarta, demonstrasi berakhir ricuh karena massa tak diperbolehkan masuk ke Kompleks Parlemen DPR RI. Polisi menangkap puluhan orang dan sudah menetapkan 19 diantaranya sebagai tersangka. Mereka terjerat pasal pengrusakan fasilitas umum.
Di Semarang, demo turunkan Jokowi di depan komplek Balai Kota dan Dewan DPRD Kota Semarang dibubarkan paksa oleh polisi pada Senin, 26 Agustus 2024. Polisi melontarkan gas air mata untuk membubarkan massa. Ada juga laporan mengenai penangkapan sejumlah demonstran, termasuk mahasiswa, yang dinilai melakukan tindakan provokatif.
Situasi serupa terjadi di Makassar. Demo gabungan mahasiswa se-Makassar menolak politik dinasti Presiden Jokowi itu berakhir ricuh di bawah flyover Jalan AP Pettarani, Makassar pada hari yang sama.
Kelompok massa ini merupakan gabungan dari mahasiswa ini terdiri dari Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM), Universitas Bosowa (Unibos), Universitas Negeri Makassar (UNM), beberapa Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP), dan kampus swasta lainnya.
Tindakan represif ini mendapat kritik keras organisasi masyarakat sipil dan akademisi. Mereka menilai bahwa pendekatan kekerasan oleh aparat tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga memperburuk situasi dan mengancam demokrasi. Respons keras dari aparat terhadap demonstran ini memicu kekhawatiran semakin semptinya ruang untuk menyampaikan aspirasi di Indonesia, terutama di tengah meningkatnya ketegangan politik belakangan ini.