TEMPO.CO, Jakarta - Kepolisian Daerah atau Polda Bali menegaskan tidak pernah menahan I Nyoman Sukena--warga Kabupaten Badung, Bali yang tengah menjalani proses hukum karena memelihara landak Jawa (Hystrix javanica)--selama proses penyidikan.
"Selama proses berjalan, Polda Bali tidak pernah melakukan penahanan kepada yang tersangkutkan," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat atau Kabid Humas Polda Bali, Komisaris Besar (Kombes) Jansen Avitus Panjaitan, saat dihubungi Tempo, Jumat, 13 September 2024.
Dalam keterangan resminya, Jansen menjelaskan kronogis kejadian. Polda Bali mulanya mendapatkan laporan dari masyarakat tentang warga yang memelihara satwa liar. Pada Senin, 4 Maret 2024 sekitar pukul 11.00 waktu setempat, Unit 1 Subdit IV Ditreskrimsus Polda Bali memeriksa sebuah rumah yang diduga menyimpan, memiliki, dan memelihara satwa liar landak Jawa yang dilindungi negara.
Rumah tersebut milik Sukena yang berada di Desa Bongkasa Pertiwi Abiansemal, Badung, Bali. Dalam pemeriksaan itu, polisi menemukan barang bukti empat ekor landak Jawa.
Pada Selasa, 5 Maret 2024 dilakukan gelar perkara. Hasinya, status perkara naik dari proses penyelidikan ke penyidikan. Barang bukti landak itu lalu disita berdasarkan surat perintah penyitaan nomor SP. Sita/S-18/13/III/2024/DITKRIMSUS/POLDA BALI berwarkat 5 Maret 2024, serta penetapan pengadilan Nomor 355/Pen.Pid/2024/PN Dps per 19 Maret 2024. Pada 5 Maret, juga langsung dibuatkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) kepada Kejaksaan Tinggi Bali dengan tembusan pelapor dan terlapor.
Selanjutnya pada Kamis, 21 Maret 2024 dilaksanakan proses gelar perkara terhadap terlapor. Status Sukena pun naik dari saksi menjadi tersangka dengan surat penetapan tersangka nomor S. Tap/S-4/18/III/2024/DITKRIMSUS/POLDA BALI berwarkat 21 Maret 2024 dan surat pemberitahuan penetapan tersangka kepada Kejaksaan Tinggi Bali dengan tembusan pelapor dan tersangka.
Polda Bali lantas mengirimkan surat panggilan kepada Sukena. Lalu polisi membuat berita acara pemeriksaan Sukena pada Selasa, 26 Maret 2024.
Selanjutnya pada Kamis, 20 Juni 2024 kepolisian mengirim berkas perkara (Tahap I) kepada Kejaksaan Tinggi Bali. Pada 27 Juni 2024, kejaksaan menyatakan berkas tersebut telah lengkap atau P-21.
Pada Senin, 12 Agustus 2024 dilakukan pelimpahan tersangka dan barang bukti (Tahap II) kepada Kejaksaan Tinggi Bali. Saat ini, tutur Jansen, kasus tersebut sedang berproses di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar. Sukena didakwa melanggar Pasal 21 ayat (2) huruf a Jo pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
"Terkait kasus ini, kepolisian sudah melakukan tindakan sesuai prosedur hukum yang berlaku," ujar Jansen dalam keterangannya.
Ia menyebut pihaknya telah berkoordinasi dengan jaksa penuntut umum dan pihak terkait lain. Sebab, Sukena terbukti memelihara hewan liar yang jelas-jelas dilindungi undang-undang, serta tidak memiliki ijin.
"Masyarakat yang dengan alasan etiket baik untuk memelihara kategori hewan dilindungi, harus sesuai prosedur dan wajib memiliki ijin dari instansi terkait, yaitu BKSDA (Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam)," kata Jansen.
Berdasarkan fakta persidangan, dengan agenda pemeriksaan saksi pada 5 September 2024, terungkap landak tersebut awalnya milik mertua Sukena. Landak itu awalnya hanya dua ekor, setelah dipelihara Sukena bertambah dua ekor.
Sukena juga mengaku tidak mengetahui bahwa landak yang dipelihara merupakan satwa yang dilindungi. Sehingga dirinya mengaku syok ketika didatangi oleh Polda Bali. Sukena bahkan menangis usai mendengarkan dakwaan penuntut umum dalam sidang. Videonya menangis sempat viral di media sosial.
Dalam perkembangannya, majelis hakim PN Denpasar menangguhkan penahanan Sukena. Statusnya beralih dari tahanan rutan menjadi tahanan rumah sejak 12-21 September 2024. Ia pun wajib lapor dua kali seminggu.
Pada sidang hari ini, 13 September 2024, jaksa penuntut umum menuntut agar Sukena dibebaskan. Jaksa menilai Sukena tidak terbukti berniat memperjualbelikan atau membunuh landak Jawa.
Pilihan Editor: Alasan Kejaksaan Tak Terapkan Restorative Justice di Kasus Landak Jawa