TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dugaan pungutan liar (pungli) dalam pengelolaan retribusi wisatawan di kawasan tiga Gili, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB). Temuan ini diungkap usai tim Satuan Tugas Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah V KPK melakukan pendampingan di Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air alias Gili Tramena pada 17–18 Agustus 2024.
Kepala Satgas Korsup Wilayah V KPK, Dian Patria, mengatakan bahwa pihaknya mendapati sejumlah anomali dalam pengelolaan retribusi oleh pihak ketiga yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
“Awalnya indikasi ini muncul saat tim melakukan pendampingan lapangan di Gili Air. Di sana, wisatawan dipungut tanpa adanya transparansi atau tidak adanya papan pengumuman berapa yang harus dibayarkan,” kata Dian, dalam keterangan tertulis, Rabu, 28 Agustus 2024.
Menurut dia, sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lombok Utara Nomor 9 Tahun 2023 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, tarif retribusi masuk kawasan wisata Gili Tramena ditetapkan sebesar Rp 20 ribu untuk wisatawan mancanegara, Rp10 ribu untuk wisatawan domestik, dan Rp 5 ribu untuk anak-anak.
Sementara Dinas Perhubungan KLU menetapkan retribusi masuk pelabuhan sebesar Rp 5 ribu per orang. KPK pun menemukan adanya kejanggalan dalam restribusi untuk retribusi masuk pelabuhan ini.
Dian menyatakan pihaknya menemukan ada pihak ketiga yang menarik hingga Rp 20 ribu per wisatawan. Itu pun 75 persennya diduga masuk ke kantong pihak ketiga, bukan ke pendapatan daerah.
"Retribusi Dishub KLU ini yang ada dasar hukumnya cuma Rp 5 ribu per orang, mau domestik atau asing, untuk retribusi tanda masuk pelabuhan yang dikelola pemda. Sisanya ke mana? Pungutannya ada Kop Pemda, kok, di karcisnya. Sehingga sisa Rp15 ribu itu uang apa dan kenapa mesti ada pihak ketiga?" kata Dian.
Dian juga mengungkapkan bahwa pihak ketiga membangun tempat pungutan di lahan milik pemerintah daerah, namun tidak ada pembayaran sewa terkait penggunaan lahan tersebut.
Dugaan pungli juga terjadi di Pelabuhan Bangsal yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi NTB sejak 28 Agustus 2023. Pungutan di Pelabuhan Bangsal dilakukan tanpa dasar hukum yang kuat, mengingat Perda yang menjadi landasannya baru diterbitkan pada 31 Januari 2024.
KPK, kata Dian, meminta semua pungutan yang tidak memiliki dasar hukum dihentikan sampai proses audit selesai. Jika ditemukan indikasi tindak pidana, hasil audit dapat diteruskan kepada aparat penegak hukum (APH) untuk penanganan lebih lanjut. KPK juga menyarankan penerapan sistem satu pintu atau One Gate System untuk memusatkan semua data dan memudahkan proses administrasi serta transparansi.
“Kami juga meminta aparat penegak hukum di daerah memberikan perhatian khusus terhadap masalah ini untuk memastikan penegakan hukum yang tepat dan transparan,” tuturnya.
Langkah-langkah ini diharapkan dapat menciptakan iklim pariwisata yang lebih sehat dan berkeadilan di NTB, serta memastikan bahwa pendapatan dari sektor pariwisata dikelola dengan baik demi kesejahteraan masyarakat setempat.