TEMPO Interaktif, Jakarta -Ketua Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) DKI Jakarta Ubaidillah mengecam keras rumusan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta 2030 yang telah disusun oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Dalam rumusan RTRW 2030 ini, kata Ubai, banyak sekali pelanggaran lingkungan sekaligus pelanggaran Undang-Undang. “Dalam RTRW 2030 ini, kami melihat Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo bukannya membangun Jakarta menjadi lebih ramah lingkungan, tapi malah menghancurkan Jakarta,” ujarnya, di kantor Walhi, Kalibata Timur, Jakarta Selatan.
Menurut Ubai, dalam RTRW 2030, ada beberapa pelanggaran yang telah dilakukan Foke. Pertama, Foke telah melakukan pelanggaran secara prosedural. Tak adanya partisipasi masyarakat dalam perumusan Draft Raperda DKI Jakarta 2030. Rancangan ini hanya ditentukan oleh segelintir orang saja, padahal menjadi taruhan besar bagi masa depan seluruh masyarakat Jakarta.
Bagaimanapun, kata Ubai, RTRW 2030 ini untuk masyarakat, bukannya untuk segelintir orang. Harus ada partisipasi masyarakat secara terus menerus dalam penyusunan RTRW 2030. WALHI sebagai LSM lingkungan pun tidak diajak serta dalam penyusunan. Hanya dalam diskusi tematik mingguan. “Dalam Draft RTRW 2030 tersebut, Foke telah menjadikan Jakarta hanya menjadi tempat para pemilik modal yang menjadikan kota ini seperti keinginan mereka tanpa mempedulikan nasib rakyat kecil,” ujarnya.
Ubai mencatat, Foke telah melanggar enam payung hukum. Antara lain UU No. 26 tentang Penataan Ruang, UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan Perundangan, Peranturan Menteri Pekerjaan Umum tentang No. 15 tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi, UU No. 14 tahun 2008 tentang Kebebasan Informasi Publik, serta UU No. 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Dengan pelanggaran itu, WALHI menuntut 5 hal kepada Pemprov DKI Jakarta. Pertama, menunda pengesahan dan segera dikeluarkannya Raperda dari Prolegda prioritas pembahasan Tahun 2010.
Ke dua, pemerintah harus segera melibatkan masyarakat secara luas dan “genuine” dalam legal drafting/ perumusan draft Raperda tersebut dengan cara partisipatif serta dengan bahasa yang jelas dan mudah dimengerti. Ke tiga, pemerintah harus segera Melakukan Kajian KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) sebagai syarat utama perumusan dan penyusunan RTRW.
Ia menegaskan akan melakukan gugatan bersama (Class Action) apabila tuntutan tersebut tidak dipenuhi.
THOWAF ZUHARON