TEMPO.CO, Jakarta- – Jaringan Advokasi Nasional Pembantu Rumah Tangga (Jala PRT) mencatat ada 103 kasus kekerasan terhadap pembantu rumah tanggah selama Januari-Februari 2016. “Hanya empat yang mencuat di media massa,” kata Koordinator Nasional Jala Lita Anggraini, kemarin.
Data itu dirilis Jala untuk mengingatkan dan memperingati hari pembantu rumah tangga pada hari ini, 15 Februari 2016. Menurut Lita, data itu dikumpulkan dari beberapa wilayah di Indonesia, seperti Yogyakarta, Surabaya, Medan, dan Lampung. “Modus para majikan adalah untuk menyekolahkan PRT, namun sampai di sana mereka disiksa, dan jika pulang ke rumah akan dihabisi,” ujar Lita.
Selama 2016, ada 12 penyiksaan terhadap pembantu oleh majikan yang termuat di media. Ada 103 penyiksaan oleh majikan dan 21 oleh agen penyalur. Kemudian para PRT terhitung sebanyak 48 kali mendapatkan siksaan fisik, 97 kekerasan psikis, dan 103 mengalami kekerasan ekonomi karena upah tidak dibayar. “Biasanya kalau dapat kekerasan fisik juga dapat kekerasan ekonomi,” tuturnya.
Kekerasan seksual juga tak sedikit. Ada 17 kasus yang dicatat Jala dengan korban berusia rata-rata 18-21 tahun. Korban usia di atas 18 juga lebih banyak, mencapai 81 kejadian. Kekerasan terhadap pembantu perempuan juga lebih banyak. Ada 102 orang yang mengalami kekerasan pada awal tahun ini, dan hanya dua pembantu laki-laki. “Dari catatan media, ada 402 kejadian sepanjang 2015,” kata Lita.
Jika diakumulasikan, para pembantu itu tak mendapat kekerasan tunggal. Sebanyak 65 persen mendapat perlakuan keras yang berupa penyekapan, penganiayaan, pelecehan, hingga upah tak dibayar. Sebanyak 35 persen perdagangan manusia oleh agen penyalur dan majikannya. Ironisnya, 80 persen kasus kekerasan tak dilanjutkan kepolisian.
Karena itu, Lita mendesak komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pembantu Rumah Tangga. “Selama 12 tahun kami ajukan rancangan itu,” kata Lita.
Menurut Lita, ada empat alasan Indonesia perlu segera punya aturan ini. Pertama, pembantu bekerja dalam situasi eksploitatif yang rentan kekerasan karena nasib mereka ada di tangan majikan dengan jumlah mencapai 10,7 juta orang. Kedua, kekerasan terhadap pembantu tak terlihat oleh publik. Ketiga, menjamin hak setiap orang dalam bekerja, dan keempat ada perlindungan menyeluruh terhadap sektor informal ini.
Irma Chaniago dari Komisi XI mengatakan, khusus perlindungan pembantu di luar negeri ada dalam RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri. “Bagaimana melindungi di dalam negeri jika yang di luar tak terlindungi,” kata Irma.
Selama di parlemen masih terjadi debat aturan ini, masyarakat akan terdorong untuk tak lagi memakai pembantu karena aturannya ketat sehingga sektor informal ini tak membantu orang miskin. Menurut dia, aturan ini penting bagi kedua belah pihak. “Bagi majikan juga perlu ada perlindungan karena kesemena-menaan pembantu,” kata dia
ARIF HIDAYAT