TEMPO.CO, Jakarta - Tim dari Sub-Direktorat IV Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya mengungkap kasus pemalsuan kartu tanda penduduk dan pembobolan kartu kredit di Jakarta.
Pengungkapan ini bermula dari penangkapan salah seorang tersangka di kantor provider PT Indosat Tbk di Jalan Merdeka Barat Nomor 21, Jakarta Pusat, pada 22 Mei lalu. Pembobolan dilakukan pada 17 bank dengan jumlah korban sekitar 1.600 orang.
"Saat itu, pelaku berinisial PSS sedang membawa KTP yang diduga datanya palsu untuk mengajukan permohonan ganti kartu ke provider," kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Komisaris Besar Fadil Imran saat mengungkap kasus ini di Polda, Rabu, 22 Juni 2016.
Kejanggalan muncul ketika petugas jaga mengecek data dan terdapat perbedaan dengan data KTP asli milik korban. Saat dimintai konfirmasi, korban mengatakan sedang di rumah dan tak mewakilkan kepada siapa pun untuk mengganti nomornya. PSS pun kemudian dicokok polisi.
Dari keterangan PSS terungkap jaringan pemalsuan KTP yang bertujuan membobol kartu kredit. Tiga tersangka lain langsung ditangkap setelah PSS tertangkap. Mereka adalah GS, pembuat KTP palsu, yang ditangkap di Sunter Agung, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Lalu, A dan AH, yang mencari data kartu kredit. A dan AH bekerja sebagai sales marketing kontrak (outsourcing) kartu kredit di bank.
"Mereka mendapat data nasabah karena terlibat sebagai petugas yang akan menggunakan kartu kredit," ucap Fadil.
Mereka tak mengambil kartu kreditnya. Yang mereka ambil adalah data di kartu kredit itu, seperti barisan angka di depan dan belakang kartu kredit. Kartu kredit, menurut Fadil, pada akhirnya akan diberikan kepada korban tanpa mengetahui datanya telah dicuri.
Setelah memiliki data korban, yang mereka butuhkan adalah pemalsu KTP, yakni GS. Fadil mengatakan GS adalah otak di balik aksi ini. Lewat kepemilikan data itu, GS kemudian menggunakannya untuk judi online, transaksi saham online, serta transfer tunai online. Semua transaksi dilakukan secara online atau e-commerce.
"Setelah uang diputar dan mendapatkan keuntungan dari situ, barulah kemudian ditransfer ke rekening sendiri," ucapnya.
Kepala Subdirektorat Cyber Crime Ajun Komisaris Besar Roberto Pasaribu mengatakan ada 17 bank yang menjadi sasaran komplotan ini. Dari tiap bank itu, komplotan ini memiliki penyuplai data yang berperan, seperti A dan AH. "Saat ini masih kami kembangkan kasusnya," tuturnya.
Ulah komplotan ini telah merugikan1.614 nasabah. Fadil mengatakan kerugiannya mencapai Rp 5 miliar. Angka ini ada kemungkinan masih akan terus bertambah. Apalagi, menurut dia, berdasarkan pengakuan tersangka, aksi tersebut telah dilakukan sejak 2014.
Mereka terancam Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen dengan ancaman penjara 6 tahun. Mereka juga dijerat Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang dengan ancaman denda maksimal Rp 10 miliar.
EGI ADYATAMA