TEMPO.CO, Jakarta - Saban tahun ada saja yang menggugat pemerintah DKI Jakarta terkait dengan kepemilikan tanah. Tahun ini, misalnya, pemerintah Jakarta mesti menghadapi tujuh kasus sengketa tanah di pengadilan. “Gugatan baru dan masih diproses di Pengadilan Negeri,” kata Kepala Bagian Bantuan Hukum Biro Hukum DKI Jakarta Nur Fadjar, Selasa, 6 Juni 2017.
Jumlah tersebut menambah daftar panjang konflik tanah di Ibu Kota yang melibatkan pemerintah. Pekan lalu, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan juga mempersoalkan perkara aset. Misalnya pembebasan lahan untuk pembangunan Waduk Pondok Ranggon III. BPK menilai pembebasan tidak memenuhi ketentuan, sehingga hasil penilaian wajar atas tanah itu, Rp 32 miliar, tidak sah digunakan sebagai dasar pembayaran.
Fadjar mengatakan hingga saat ini ada 73 kasus sengketa tanah yang ditangani Biro Hukum, baik di tingkat pengadilan, banding, maupun kasasi. Rinciannya, 15 perkara di tingkat pengadilan, 13 kasus tengah banding di pengadilan tinggi, 17 perkara di tingkat kasasi, 6 kasus sedang dalam proses peninjauan kembali, dan 22 perkara sudah diputuskan dan berkekuatan hukum tetap.
Dari 22 kasus sengketa yang sudah inkracht, Fadjar mengatakan, pemerintah Jakarta memenangi sepuluh perkara. Ia memberi contoh kasus yang dimenangi pemerintah seperti sengketa tanah di Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu di Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan.
Baca: BPK Beri Opini WDP untuk Laporan Keuangan DKI Jakarta
Para ahli waris Enging bin Leos mempersoalkan pembangunan RSUD Pasar Minggu karena dianggap menyerobot lahan mereka. Walhasil, mereka menggugat pemerintah ke pengadilan dan menuntut ganti rugi. “Kami memiliki sertifikatnya dan tidak perlu membayar ganti rugi karena sudah inkracht,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Kusmedi.
Fadjar mengatakan pemerintah kalah dalam 12 perkara tanah. Misalnya kasus lapangan di daerah Kramat Jati, Jakarta Timur. Menurut dia, beberapa kekalahan dialami pemerintah karena tidak memiliki bukti kepemilikan yang asli, hanya salinan. “Ada mafia tanah terlibat,” katanya.
Baca: BPK Soroti Soal Kompensasi KLB yang Tak Dibahas dengan DPRD DKI
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Prabowo Sunirman, menyarankan pemerintah segera menginventarisasi aset, termasuk yang berupa tanah. Tujuannya, kata dia, untuk menyisir mana aset yang sudah memiliki bukti kepemilikan yang kuat dan mana yang tidak. “Kalau kurang bukti yang kuat, tinggal diurus,” katanya. “Kami juga ingin tahu aset pemerintah nilainya berapa.”
Berdasarkan data Badan Pengelola Aset Daerah per 31 Desember 2016, nilai seluruh aset pemerintah Jakarta sebesar Rp 419 triliun. Aset tetap senilai Rp 382,5 triliun dan aset lain Rp 36,5 triliun. Aset dengan nilai terbesar adalah tanah, yakni Rp 295 triliun. Kedua, jaringan jalan, irigasi, dan lain-lain senilai Rp 35,5 triliun.
Baca: BPK Temukan Kerugian Minimal Rp 60 Miliar Pengadaan Tanah Daerah
Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, menilai pemerintah Jakarta kalah dalam perkara sengketa tanah karena rasa kepemilikan yang rendah. Indikatornya, menurut dia, banyak aset pemerintah yang riwayatnya tidak jelas serta bukti kepemilikannya tak lengkap. “Gonta-ganti pejabat juga menjadi persoalan yang membikin riwayat tanah seolah terputus.”
Solusinya, kata dia, bagian aset dan keuangan pemerintah DKI harus didukung semua satuan kerja perangkat daerah guna melengkapi data aset. Jika data lengkap, ujar Yayat, bukti kepemilikan menjadi kuat. Pemerintah juga disarankan segera mengurus tanah yang buktinya belum ada. “Kalau seperti itu, baru pemerintah bisa menang,” ucapnya.
ERWAN HERMAWAN