TEMPO.CO, Jakarta - Penggusuran Kampung Pulo tiga pekan lalu membuat permukiman di bantaran Kali Ciliwung di Jakarta Timur itu terkenal. Media massa menyiarkan penggusuran yang diwarnai kericuhan tersebut selama berhari-hari, menjadikannya kepala berita.
Setelah meratakan sekitar 500 rumah di sana dan membangun turap beton di gigir Ciliwung, pemerintah Jakarta mengarahkan pembongkaran ke Bukit Duri, yang berada di seberang Kampung Pulo. “Setelah Kampung Pulo beres, segera ke sana,” kata Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang biasa disapa Ahok.
Meski belum jelas rencana penggusuran itu, Kelurahan Bukit Duri sudah mendata rumah-rumah yang akan terkena dampak proyek normalisasi. Penduduk diminta mengisi formulir data keluarga serta data rumah dan luas tanah di kertas yang dibagikan staf kelurahan. “Akan kami cocokkan dengan peta bidang dari Badan Pertanahan Nasional,” kata Lurah Bukit Duri Mardi Youce.
Warga Bukit Duri pun resah mendengar kabar-kabar yang tak pernah diikuti konfirmasi secara resmi oleh pemerintah itu. Selama ini, tak ada petugas dari kecamatan atau kelurahan yang mensosialisasi rencana normalisasi tersebut di kampung mereka. “Kalaupun mau digusur, kami tak ingin bentrok seperti Kampung Pulo,” kata Jack Jasandi, Ketua RT 05 RW 12 Bukit Duri, Senin 7 September 2015.
Keresahan ini sampai juga ke telinga Ahmad Yani, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Yani datang ke Bukit Duri dua pekan lalu ditemani anggota Fraksi PKS lainnya, Rifkoh Abriani. Pertemuan dengan tokoh masyarakat dan ketua-ketua RT itu berlangsung di Masjid Al-Hidayah, RT 05 RW 12.
Kepada warga Bukit Duri, Yani menyarankan agar mereka mengikuti proses yang ada. Seusai dengan prosedur, kata dia, jika benar akan ada penggusuran, pemerintah pasti melakukan sosialisasi. “Saya minta penduduk datang saat sosialisasi dan menyampaikan nilai ganti rugi yang mereka inginkan,” kata dia.
Yani bersedia menjembatani pertemuan dengan Gubernur Ahok jika sosialisasi yang diadakan belum mengakomodasi keinginan masyarakat. “Kami diberi tahu bahwa pembangunan rumah susun itu tidak memungkinkan karena Jakarta tak punya lahannya," tuturnya.
Selain politikus PKS, kata Jack, politikus Gerindra Jakarta datang ke Bukit Duri untuk menawarkan bantuan serupa. Syarif, Wakil Ketua Gerindra Jakarta yang juga datang, menawarkan bantuan dan mempertemukan penduduk dengan Gubernur Ahok. “Dia ditemani satu orang bernama Anna,” kata Jack.
Saat dimintai konfirmasi, Syarif menyangkal sudah bertemu dengan warga Bukit Duri. “Saya hanya menugasi staf turun ke lapangan melihat kondisi Bukit Duri dan Bidara Cina, yang konon akan digusur juga,” kata dia. Permohonan audiensi, kata Syarif, sudah banyak ia terima. Namun ia belum punya jadwal ke sana.
Bidara Cina juga termasuk daerah yang akan digusur. Berbeda dengan Bukit Duri dan Kampung Pulo, kelurahan ini akan dibersihkan untuk membangun inlet bagi terowongan bawah air Ciliwung yang dibuang ke Kanal Banjir Timur. Pipanya sudah sampai Jalan Otto Iskandar Dinata, atau separuh dari 1,37 kilometer yang direncanakan.
Direktur Komunitas Ciliwung Merdeka, Sandyawan Sumardi, mengingatkan agar diplomasi politikus tak memecah-belah warga korban penggusuran. Ciliwung Merdeka, yang mendampingi warga Kampung Pulo, gagal memasukan usul pembangunan kampung susun, yang tak membutuhkan relokasi, karena satu dari tiga rukun warga meminta ganti uang atas tanah dan bangunan mereka.
Permintaan itulah, kata Sandyawan, yang membuat Gubernur Ahok menolak usul kampung susun. “Saya khawatir masuknya politikus ke Bukit Duri memakai pola yang sama dengan di Kampung Pulo, yakni menyarankan ganti rugi,” kata dia.
MAYA NAWANGWULAN
Video tentang Kampung Pulo: