TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi mengatakan praktek percaloan di sejumlah rumah sakit daerah di Jakarta sudah keterlaluan. Percaloan terjadi mulai fasilitas kamar hingga nomor antrean.
"Bahwasanya terjadi kebobrokan RSUD Jakarta. Kami rapat dengan Kadis Kesehatan, baru ngomong dua hari, saya mendapatkan lagi (kasus). Berarti belum ada tindakan," kata Prasetio saat ditemui di gedung DPRD DKI Jakarta, Jumat, 26 Agustus 2016.
Hari ini, Prasetio menerima seseorang yang mengaku menjadi korban percaloan. Eti Herlina, 44 tahun, warga Karanganyar, Jakarta Pusat, mengaku menjadi korban calo nomor. Menurut Eti, ini bukan kali pertama ia menjadi korban calo nomor di RSUD Tarakan.
Kemarin, Eti, yang mengantarkan suaminya berobat untuk penyakit leukemia, sengaja menunggu dari subuh di RSUD Tarakan agar mendapat nomor antrean awal. Namun, meski telah berangkat pukul 05.00 WIB, ia tetap mendapat nomor antrean di atas 35. Padahal, menurut dia, tak ada pasien lain yang mendapat nomor 1-35.
"Kemudian, datang pasien dari Cibubur dan Tangerang, belakangan, tapi kok nomornya dapat yang muda (awal)," tutur Eti, bercerita. Ia pun curiga telah menjadi korban praktek calo. Pasalnya, ia mengaku melihat seseorang di RSUD yang memegang nomor antrean satu hingga lima. Orang tersebut tak mengenakan pakaian dinas rumah sakit sama sekali.
Prasetio mengatakan kasus yang menimpa Eti itu merupakan bukti ketidakseriusan Dinas Kesehatan DKI Jakarta mengatasi masalah percaloan. Padahal, kata Prasetio, 2 hari lalu, ia baru saja mengingatkan mereka dalam rapat.
Ini pun bukan kasus pertama yang ia temukan. Kasus kamar RSUD fiktif, yang sempat mencuat beberapa waktu lalu, juga kasus penduduk yang masih tak bisa mengakses BPJS, masih sering ia lihat.
Prasetio mengatakan akan segera mengumpulkan pihak-pihak terkait guna membahas masalah ini. "Saya akan rapat dengan Komisi E, kami panggil (Dinas Kesehatan DKI)," ucap Prasetio.
Ia menegaskan, kasus seperti ini sangat merugikan masyarakat yang mengalami keterbatasan ekonomi. Fasilitas kesehatan yang seharusnya bisa diakses semua orang justru menjadi dikomersialkan.
"Yang menggunakan BPJS pasti tersingkirkan. Lebih condong yang komersialnya," kata Prasetio. Kasus semacam ini ia temukan di beberapa RSUD, seperti Duren Sawit dan Budi Asih. Ia meminta Dinkes meningkatkan pengawasannya terhadap praktek seperti ini.
EGI ADYATAMA