TEMPO.CO, Depok- Mayoritas pelaku kejahatan seksual terhadap anak masih mempunyai hubungan darah atau keluarga. Data tersebut terungkap dari penelitian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia atas perkara kejahatan seksual yang divonis di Mahkamah Agung pada 2015.
Peneliti MaPPI FHUI Adery Ardhan Saputro mengatakan untuk tindak pidana kejahatan seksual terhadap anak mayoritas pelakunya memiliki relasi domestik dengan korban. Relasi domestik, yakni adanya hubungan darah atau keluarga antara pelaku dan korban.
"Jumlahnya mencapai 50 persen dari semua kategori relasi," kata Adery, dalam diskusi mengungkap relasi kuasa dalam kejahatan seksual di FHUI, Rabu, 26 Oktober 2016.
Total, kata dia, ada enam kategori relasi pelaku dengan korban yang berbeda, yakni relasi horisontal, domestik, kekerabatan, kuasa, tidak ad relasi dan tidak ada informasi hubungan relasi. Mayoritas pelaku didominasi relasi domestik. Dan relasi kedua terbesar, yang sama besarannya antara pelaku dengan relasi horisontal dan kekerabatan yang mencapai 17 persen.
Pada kasus kejahatan seksual persetubuhan pada anak, vonis bebas diberikan pada pelaku dengan relasi horisontal dengan korban. Sementara vonis paling berat diberikan pada pelakudengan relasi kekerabatan dengan pidana 9-12 tahun penjara dengan tindak pidana repetisi.
Adapun vonis terhadap kasus kejahatan seksual persetubuhan terhadap anak tanpa repetisi dengan pelaku relasi domestik, terdapat tiga kategori yang berbeda. "Tapi, mayoritas pidana 3-6 tahun," ucapnya.
Adery menjelaskan, vonis terberat kejahatan seksual tindak pidana tanpa repetisi terhadap anak yang mempunyai relasi kekerabatan mencapai lebih dari 12 sampai dengan 15 tahun.
Data vonis hukuman tersebut didapat dari penelitian terhadap tindak kejahatan yang divonis di Mahkamah Agung pada tahun 2015. Total yang diteliti ada 279 perkara pelecehan seksual yang terdiri dari 176 tindak pidana tanpa repetisi dan 121 non repetisi.
Dari jumlah tersebut tindak pidana kejahatan seksual berupa persetubuhan yang dilakukan terhadap anak dengan tipu/bujuk/godaan mencapai 51 persen, tindakan kekerasan/paksaan terhadap anak mencapai 33 persen, dan persetubuhan terhadap wanita di luar perkawinan mencapai 16 persen.
Dalam tindak pidana kejahatan seksual persetubuhan, mayoritas pelaku memiliki hubungan relasi domestik seperti adanya hubungan darah dan menjadi pacar korban. "Datanya konsisten dalam tiga tindak pidana kejahatan seksual dalam studi ini," ucapnya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan Ratna Batara Munti mengatakan ada pergeseran pandangan terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Sebelumnya, orang berpikir keluarga menjadi tempat paling aman dalam untuk mengawasi dan menjaga anak. "Tapi, sekarang terbalik berdasarkan penelitian. Pelaku kejahatan paling banyak dilakukan oleh keluarga sendiri, bahkan yang mempunyai hubungan darah," ujarnya.
Bahkan, ada orang tua kandung yang tega mencabuli anaknya sendiri. Atau bahkan, kata dia, orang tua mencabuli anak tirinya, setelah menikah dengan ibunya. "Kejahatan seksualnya bisa berupa intimidasi dan ancaman, setelah nafsunya tersalurkan," ujarnya.
IMAM HAMDI