TEMPO.CO, Jakarta - Lima dari delapan koperasi angkutan umum di Jakarta urung bergabung dalam program integrasi angkutan umum, OK-Otrip. Sekretaris Koperasi Mikrolet Jaya, Berman Limbong, mengatakan mereka menolak bergabung setelah menilai hitungan tarif yang ditawarkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak lebih menguntungkan dari sistem setoran yang berlaku selama ini.
"Kami tidak ikut uji coba karena harga pokok satuan mereka (DKI) enggak cocok sama kami," ujar Limbong, yang juga Ketua Unit Bus Kecil Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta, Selasa, 30 Januari 2018. OK-Otrip merupakan program pengintegrasian pelbagai moda angkutan umum dengan tarif tunggal Rp 5.000 per tiga jam.
Kelima koperasi yang belum mau bergabung dalam uji coba OK-Otrip, menurut Limbong, adalah Komilet Jaya, Purimas, Komika, Kopamilet, dan Kolamas. Sedangkan yang sudah bergabung baru dua koperasi, yakni Budi Luhur dan Koperasi Wahana Kalpika (KWK).
Limbong menambahkan, melalui PT Transportasi Jakarta, pemerintah DKI menawarkan harga satuan angkutan terintegrasi yang bergabung dalam OK-Otrip sebesar Rp 3.400 per kilometer. Menurut Limbong, harga itu tak bisa menutup seluruh komponen biaya operasional, termasuk gaji sopir. Sopir yang ikut dalam OK-Otrip dijanjikan mendapat gaji bulanan sesuai dengan upah minimum Provinsi DKI Jakarta, yakni Rp 3,6 juta.
Limbong mencontohkan komponen ongkos uji kir. Berdasarkan hitungan DKI, biaya uji kir sekitar Rp 92 ribu. Padahal, kata Limbong, ongkos uji kir angkutan umum bisa mencapai Rp 200 ribu. "Kenyataannya ada komponen lainnya, tapi itu tidak dimasukkan oleh mereka," ujar dia.
Menurut Limbong, angka ideal yang bisa menutup kebutuhan sopir dan pengusaha adalah Rp 4.000 per kilometer. "Kami tidak menolak OK-Otrip, tapi kami menolak skema harga yang ditawarkan," kata Limbong.
Ketua Organda DKI, Shafruhan Sinungan, membenarkan adanya lima operator yang urung bergabung dalam OK-Otrip. "Bukan nolak, tapi menarik diri dulu," ujar dia. Berdasarkan hitungan Organda, harga satuan angkutan dalam OK-Otrip setidaknya sekitar Rp 3.800 per kilometer.
Hitungan versi DKI, menurut Shafruhan, belum memasukkan komponen iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Andri Yansyah, membenarkan bahwa ada komponen yang belum masuk dalam hitungan DKI. Misalnya, BPJS kesehatan. "Satu armada kan ada dua sopir. Nah, ternyata dihitungnya baru satu sopir untuk BPJS," ucap dia.
Di samping BPJS kesehatan, komponen yang belum dihitung DKI adalah kebutuhan pengawas di lapangan. "Mereka sudah hitung, tapi kami belum masukkan," kata Andri.
Pemerintah DKI, menurut Andri, akan mengkaji kembali skema pembayaran OK-Otrip. "Bukan naik, tapi menyesuaikan," dia menjelaskan. Andri pun menepis kekhawatiran bahwa pelaksanaan OK-Otrip bakal tertunda akibat mundurnya sejumlah koperasi. Menurut dia, semua persoalan akan dicarikan jalan keluar dan didiskusikan bersama.