TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat kepolisian, Bambang Widodo Umar, menganggap main tembak pelaku begal dan jambret tak solutif mengurangi kriminalitas di jalanan. Menurut Bambang, ada dua cara yang dapat dilakukan polisi untuk meredam aksi begal dan jambret.
Pertama, membuat peta kerawanan jalan. “Setelah itu, polisi perlu menyampaikannya ke publik agar masyarakat mewaspadai titik-titik rawan tindak kejahatan di jalanan,” kata Bambang kepada Tempo, Senin, 9 Juli 2018.
Kedua, meningkatkan pengawasan di jalan. Menurut Bambang, polisi harus berkoordinasi dengan aparat keamanan lain. Aparat yang dimaksud seperti polisi lalu lintas, satuan polisi pamong praja alias satpol PP, dan intelijen.
"Tingkatkan pengawasan di jalan dengan dilakukan secara koordinatif oleh polisi," kata Bambang. Selain itu, menurut Bambang, perlu juga partisipasi dari masyarakat. Misalnya, saat dijambret, pengendara berteriak untuk menarik perhatian atau bantuan orang lain.
Bambang menilai, polisi condong bertindak represif atau destruktif ketimbang preventif dalam mengatasi pelaku begal dan jambret. Pernyataan ini sehubungan dengan perintah untuk menembak pelaku tindak kejahatan di jalan bila melawan.
Bambang berpendapat, menembak pelaku begal atau jambret bukan solusi mengurangi tindak kejahatan di jalanan. Sebab, banyak faktor yang mendorong pelaku berbuat tindak kejahatan.
"Tidak bisa diatasi hanya dengan main tembak saja alias distruktif. Dengan cara penindakan keras, hilang sebentar nanti muncul lagi," ujarnya.
Polda Metro Jaya menggelar operasi khusus untuk memburu pelaku tindak kejahatan di jalan seperti begal dan jambret. Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Idham Azis memerintahkan polisi menembak pejambret dan pelaku begal yang melawan.
Baru tiga hari operasi berjalan, polisi terpaksa menembak 27 begal dan jambret. Sebanyak 387 orang terjaring polisi pada 3-5 Juli 2018. Dari jumlah itu, 73 pelaku ditangkap, 27 diantaranya ditembak.