TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat kepolisian, Bambang Widodo Umar, menilai polisi cenderung melakukan tindakan represif atau destruktif terhadap pelaku begal dan jambret. Pernyataan ini sehubungan dengan perintah untuk menembak pelaku tindak kejahatan di jalan bila melawan.
"Pendekatan tugas polri cenderung lebih represif atau destruktif daripada preventif," kata Bambang saat dihubungi Tempo, Senin, 9 Juli 2018.
Polda Metro Jaya menggelar operasi khusus untuk memburu pelaku tindak kejahatan di jalan seperti begal dan jambret. Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Idham Azis memerintahkan polisi menembak pejambret dan pelaku begal yang melawan.
Baru tiga hari operasi berjalan, polisi menembak 27 begal dan jambret. Sebanyak 387 orang terjaring polisi pada 3-5 Juli 2018. Dari jumlah itu, 73 pelaku ditangkap, 27 diantaranya ditembak.
Menurut Bambang, operasi khusus tersebut mirip dengan operasi militer. Sebab, operasi khusus dengan batas waktu sama seperti model operasi militer. Padahal, seharusnya polisi siaga menangkap pelaku kriminalitas setiap hari.
"Menanggulangi kejahatan itu sudah merupakan tugas rutin polisi. Kejahatan tidak habis-habis," ujar Bambang.
Bambang menyarankan agar polisi membangun koordinasi dengan aparat keamanan lain dan pemerintah daerah untuk mencegah kejahatan di jalan seperti begal dan jambret. Polisi, lanjut dia, tak bisa menyelesaikan kejahatan sendirian. "Polisi belum membangun koordinasi lintas sektoral dalam upaya pencegahan, polisi masih mengutamakan tindakan represif," ujar Bambang.