KPK memperoleh informasi dari Tim Evaluasi Tata Air bahwa privatisasi pengelolaan air bersih yang berlangsung sejak 1998 hingga Desember 2016 justru merugikan pemerintah. Dalam catatan DKI, PAM Jaya selaku BUMD membukukan kerugian Rp 1,2 triliun. Sementara laba yang didapat swasta mencapai Rp 4,3 triliun.
PT PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA) operator penyediaan dan pelayanan air minum di wilayah Barat DKI Jakarta, akan melakukan pekerjaan teknis di Instalasi Pengolahan Air (IPA) 2 Pejompongan, Jakarta Pusat. (dok Palyja)
KPK, Febri memaparkan, menilai laba swasta justru berbanding terbalik dengan kinerja dan target keterjangkauan air bersih. Dengan kata lain, produksi dan penyediaan ar bersih tidak sesuai harapan.
3. Penyebab kemunculan klausul kontrak
KPK menyoroti apa saja faktor-faktor yang menyebabkan klausul kontrak dengan swasta tidak mencerminkan kepentingan pemerintah. Febri mengutarakan, beberapa klausul kerja sama memberatkan pemerintah DKI.
Salah satunya kesepakatan pengembalian modal proyek atau internal rate of return (IRR) sebesar 22 persen dan kewajiban pemerintah menbayar defisit (shortfall) kepada swasta.
4. Skenario penghentian privatisasi
Tim Evaluasi Tata Air sebelumnya memberikan tiga opsi penghentian swastanisasi air. Opsi itu sudah disampaikan kepada Gubernur DKI Anies Baswedan.
Opsi pertama adalah status quo. Dengan opsi ini pemerintah menjamin keuntungan untuk Palyja 22 persen dan Aetra 15,8 persen.