"Sebagai kaum kelas pekerja ibu kota, saya jujur lelah melihat aksi-aksi jalanan seperti itu. Soalnya kan masih sensitif juga," ujar karyawan swasta itu.
Walau begitu, Nugy mengaku paham setiap orang punya hak untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat. Dia mempersilakan Reuni 212 tetap berlangsung namun dengan catatan tidak mengganggu ketertiban umum dan damai.
"Dan jangan ada lagi pergesekan seperti yang sudah terjadi sebelumnya," kata dia mengimbau.
Berbeda lagi dengan Fadiyah, 24 tahun, yang mengaku tidak peduli Reuni 212 digelar atau tidak. Alasan Fadiyah, Reuni 212 tak mewakili kepentingannya. "Jika aksinya berkaitan dengan semisal Undang-Undang Ketenagakerjaan, saya bisa merasa terwakili, bahkan mendukung," ujar perempuan yang tinggal di daerah Jakarta Timur itu.
Reuni 212 tahun ini rencananya kembali digelar di Monumen Nasional atau Monas. Di gelaran perdana gerakan ini pada Desember 2016 lalu, massa menuntut pemidanaan terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok atas dugaan tindak pidana penistaan agama. Tahun ini, kecaman ditujukan terhadap Sukmawati Soekarnoputri karena dianggap telah membandingkan Nabi Muhammad SAW dengan Presiden Soekarno.