TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa hukum enam aktivis Papua, Maruli Tua Rajagukguk, menyebut tak ada pengertian dan tolok ukur perbuatan makar yang tertera dalam dakwaan jaksa penuntut umum. Menurut dia, tidak adanya penjelasan makar di dakwaan membahayakan kliennya karena menimbulkan ketidakpastian hukum.
"Dakwaan JPU menjadi dakwaan karet yang bisa menjerat siapapun karena tidak memiliki pengertian dan tolak ukur ketentuan yang disebut makar," kata Maruli saat membacakan eksepsi di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin, 6 Januari 2020.
Sebelumnya, jaksa mendakwa keenam aktivis Papua telah berbuat makar. Jaksa mendakwa dengan pasal alternatif. Pertama adalah Pasal 106 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP soal makar. Kedua, Pasal 110 ayat 1 KUHP ihwal permufakatan jahat.
Maruli menuturkan, tak ada kalimat dalam dua pasal alternatif itu yang menjelaskan tentang pengertian atau tolok ukur makar. Dia menambahkan para terdakwa pun bingung dengan tuduhan jaksa tersebut.
Karena itu, dakwaan dinilai tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap. Maruli menyebut, pihaknya menginginkan proses peradilan dilakukan secara adil. Caranya dengan membeberkan pengertian dan ketentuan yang jelas.
Adapun penjelasan soal makar itu, menurut dia, tercantum dalam Pasal 104, 106, 107, 139a, 139b, dan 140 KUHP. Sementara tolok ukur perbuatan makar dijelaskan di Pasal 87 KUHP.
"Kami tidak ingin terjadi penafsiran bebas yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum," ucap Maruli.
Keenam aktivis Papua menjalani sidang pembacaan eksepsi hari ini. Mereka dibagi dengan tiga berkas perkara. Perkara empat terdakwa menjadi satu berkas, yaitu Paulus Suryanta Ginting, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, dan Isay Wenda.
Selanjutnya, terdakwa Anes Tabuni dan Arina Elopere masing-masing satu berkas perkara terpisah. Arina dan Anes terlebih dulu menjalani sidang eksepsi.
Keenam aktivis Papua tersebut sebelumnya ditahan Polda Metro Jaya karena dianggap makar setelah mengibarkan bendera bintang kejora saat berdemonstrasi di depan Markas Besar TNI Angkatan Darat dan Istana Negara pada Agustus 2019. Demonstrasi itu sendiri merupakan buntut dari kerusuhan di asrama Papua di Surabaya.