TEMPO.CO, Bandung- PT. Kapima Rencanatama yang berdomisili di Bandung menuntut Dinas Cipta Karya Tata Ruang dan Pertanahan Provinsi DKI Jakarta membayar pekerjaan sekitar Rp 800 juta. Kini mereka masih bersengketa di pengadilan dan pembayaran ditunda.
Kasus bermula ketika perusahaan itu mendapat kontrak pekerjaan pendataan dan otomasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (P4T) dari Dinas Cipta Karya Tata Ruang dan Pertanahan Provinsi DKI pada 5 Agustus 2015. Nilai kontraknya Rp 1,2 miliar dengan pembayaran empat termin.
Dalam pelaksanaannya terjadi keterlambatan pekerjaan pada 15 Desember 2015 atau sepuluh hari melewati batas akhir kontrak. Selanjutnya, Dinas Cipta Karya melakukan pemutusan kontrak sepihak. Saat itu PT Kapima menyatakan pengerjaan sudah sekitar 93 persen dan tetap melanjutkan pekerjaan hingga selesai 22 Januari 2016. “Sampai sekarang belum dibayar,” kata pemilik sekaligus Direktur Utama PT. Kapima, Djosi Djohar, Senin 13 Januari 2020.
Total keterlambatan pengerjaan itu selama 49 hari dari tenggat. Pada 3 November 2017, PT. Kapima mengajukan wanprestasi tersebut ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Lembaga ini kemudian mengeluarkan putusan Nomor: 971/VIII/ARB-BANI/2017 pada 19 Maret 2018. Isi amarnya memutuskan menolak eksepsi termohon atau Dinas Cipta Karya DKI Jakarta untuk seluruhnya.
BANI menghukum dan memerintahkan Dinas membayar prestasi pekerjaan itu sebesar Rp 825.640.200. “Ditambah biaya perkara Rp 41.641.500, total Rp 867.281.700,” kata pengacaranya Rikhi Lazuardi, Senin malam, 13 Januari 2020.
BANI juga menerima dan mengabulkan permohonan pemohon atau perusahaan untuk sebagian. Sedangkan perjanjian untuk melaksanakan paket pekerjaan di wilayah Jakarta Timur itu, bernomor 2128/-077.922 pada 5 Agustus 2015 yang ditandatangani kedua pihak, dinyatakan sah dan mengikat.
Kasus itu juga bergulir di Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN Jakarta sejak 2017 hingga peninjauan kembali dan keluar putusan Mahkamah Agung Nomor 26 PK/TUN/2019 pada 14 Maret 2019. Majelis hakim menjadikan putusan BANI sebagai bukti novum yang menentukan.
Hasilnya Mahkamah Agung membatalkan Surat Keputusan Kepala Dinas Cipta Karya Tata Ruang dan Pertanahan Provinsi DKI Jakarta Nomor 4/2017 tanggal 16 Januari 2017. Surat itu tentang sanksi pencantuman dalam daftar hitam. Majelis hakim juga mewajibkan Dinas mencabut surat itu.
Menurut Djosi, daftar hitam perusahaannya ditetapkan Pemprov DKI berlaku sejak 16 Januari 2017 hingga 16 Januari 2019. Daftar hitam itu disampaikan ke Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah atau LKPP. Akibatnya Kapima tidak bisa mendaftar dan mengikuti semua pelelangan di Indonesia.
Pada 30 September 2019 mereka mengajukan Surat Gugatan Perbuatan Melawan Hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait daftar hitam itu. Pengajuan gugatan baru kepada Gubernur DKI dan kepala dinasnya itu menurut Rikhi yang menjadi dalih menunda pembayaran. "Jadi dianggap permasalahan belum selesai," kata dia.
Menurutnya alasan itu sangat tidak wajar karena perkara perdata perbuatan melawan hukum yang diajukan tidak terkait dengan kewajiban Dinas untuk menjalankan putusan PTUN dan BANI. Penundaan pembayaran dinilai tidak sesuai prosedur. "Dinas telah menganggarkan untuk pembayaran dan dananya telah diusulkan dan sudah ada di APBD Perubahan September 2019," ujarnya. Rencananya minggu ini persidangan masuk ke tahap duplik dari pihak tergugat.