TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis Papua Paulus Suryanta Ginting, yang menjadi terdakwa kasus makar, menyebut polisi telah membantu urusan logistik massa yang berunjuk rasa di depan Istana Negara.
Suryanta mempertanyakan apakah tindakan polisi menyuplai logistik itu tergolong perbuatan membantu makar. Bantuan logistik yang dimaksud adalah bus dan makan siang untuk peserta demo Papua di Jakarta pada 22 dan 28 Agustus 2019.
"Kalau dianggap ini masalah dari yel-yel, lagu, dan sebagainya, pihak kepolisian membantu bus. Apakah itu bukan berarti pihak kepolisian membantu makar?" tanya Suryanta di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin, 10 Februari 2020.
Suryanta dan lima aktivis Papua ditangkap karena diduga berbuat makar. Massa aksi kala itu mengibarkan bendera berlogo bintang kejora dan menyerukan Papua merdeka.
Keterangan Suryanta ini merespons pernyataan dari salah satu saksi yang dihadirkan jaksa. Saksi itu adalah mantan Kepala Satuan Intelijen Keamanan (Kasat Intelkam) Polres Jakarta Pusat AKBP Danu Wiyata.
Menurut Suryanta, polisi menyediakan bus pulang untuk massa aksi. Bus disediakan dua kali, yakni pada saat unjuk rasa 22 dan 28 Agustus 2019.
Polisi, Suryanta menambahkan, juga menawarkan konsumsi. Bantuan konsumsi ini ditawarkan langsung oleh Kepala Kepolisian Resor Jakarta Pusat saat itu pada 22 Agustus.
"Kemudian saya tolak karena saya bilang mereka, kawan-kawan Papua, nanti makanannya dibuang kalau terima makanan dari polisi," ucap dia.
Menurut Danu, polisi berupaya bersikap humanis dan persuasif terhadap massa aksi. Tujuannya untuk menghindari bentrok antara massa demo Papua dengan polisi.
"Kenapa sampai menyediakan bus dan sebagainya, kami semata-mata menganggap suadara adalah saudara kami. Maka kami berbuat baik menyiapkan angkutan," katanya.
Enam aktivis Papua yang terseret perkara ini adalah Paulus Suryanta Ginting, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, Isay Wenda, Anes Tabuni dan Arina Elopere.
Mereka ditangkap polisi karena mengibarkan bendera Bintang Kejora saat unjuk rasa menuntut referendum di depan Istana Merdeka pada 28 Agustus 2019. Jaksa penuntut umum mendakwa aktivis Papua Suryanta Cs dengan dua pasal alternatif, yaitu, Pasal 106 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP soal makar dan Pasal 110 ayat 1 KUHP ihwal permufakatan jahat.