TEMPO.CO, Jakarta - Kebijakan melonggarkan penggunaan transportasi publik berpotensi menaikkan jumlah penularan virus corona ke daerah. Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan kebijakan itu harus dikaji kembali karena sejumlah wilayah seperti Bogor dan Depok telah menunjukkan penurunan kasus Covid-19.
"Kalau kebijakan transportasi publik itu dibuka tanpa kajian yang jelas maka transmisi (penularan virus) akan terus berjalan," kata Tri saat dihubungi, Kamis, 7 Mei 2020.
Sebelumnya Menhub Budi Karya Sumadi menyatakan seluruh moda transportasi komersial untuk angkutan penumpang darat, laut, serta udara kembali beroperasi mulai hari ini. Relaksasi pengoperasian seluruh moda transportasi publik itu disebut sudah mendapat restu Tim Gugus Tugas Covid-19.
Tri memahami kebijakan pemerintah pusat yang hendak melonggarkan penggunaan transportasi publik di tengah wabah ini untuk membangkitkan perekonomian yang kini anjlok di angka 1 persenan. "Memang kebijakan yang dilematis situasi seperti sekarang."
Beberapa negara maju pun, kata dia, telah dilanda badai ekonomi seperti Inggris dan Jerman yang pertumbuhan ekonominya sudah minus imbas karantina wilayah Covid-19.
Namun epidemiolog UI itu menyarankan pemerintah mengkaji secara matang rencana pelonggaran seluruh moda transportasi umum di tengah pandemi ini.
Pemerintah harus tetap menerapkan protokol dan standar pembatasan sosial berskala besar (PSBB) meski telah membuka seluruh transportasi publik dengan sejumlah syarat itu. "Penggunaan masker dan jaga jarak sosial dan fisik harus terus diterapkan," ujarnya.
Tri menyarankan pemerintah daerah menyiapkan karantina bagi warganya yang pulang kampung. Sebab, kebijakan Kementerian Perhubungan membuka transportasi publik berpotensi menjadi celah warga untuk pulang kampung halaman. "Karantina bisa di rumah asal diawasi. Tapi, tetap kebijakan ini mempunyai risiko menyebabkan penularan akan terus terjadi dan menghambat pembatasan yang saat ini dilakukan."