TEMPO.CO, Jakarta - Psikolog dari Universitas Pancasila, Aully Grashinta, menilai ada banyak faktor yang menyebabkan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan selama PSBB transisi menurun. "Pertama karena informasi yang simpang siur," kata Aully melalui pesan singkat, Sabtu, 25 Juli 2020.
Menurut Aully, simpang siur informasi menyebabkan persepsi yang berbeda di masyarakat. Sebagian masyarakat pun sulit memahami informasi dari pemerintah. Informasi yang simpang siur ini terlihat dari perbedaan kebijakan antara pemerintahan pusat dan daerah sejak awal pandemi ini terjadi.
Bahkan, ketidakkonsistenan dan informasi yang simpang siur ini terus ditampilkan di media oleh pejabat publik hingga menyebabkan masyarakat bingung terhadap kebijakan pemerintah. "Jadi, masyarakat bingung mau ikut yang mana."
Sementara di sisi lain, kata dia, informasi yang lebih penting seperti derita yang dialami pasien Covid-19, kesulitan yang dihadapi tenaga kesehatan, institusi kesehatan dan pihak-pihak yang berjuang menekan Covid kini tidak menjadi perhatian utama yang disorot pemerintah.
Yang terlihat, kata dia, konflik kepentingan lebih menonjol ketimbang masalah utama menanggulangi wabah ini. "Hal inilah yang membuat masyarakat juga akhirnya apatis dan tidak terlalu mau nurut pada aturan yang ditetapkan," ujarnya.
Rendahnya kesadaran terhadap protokol kesehatan juga disebabkan pemahaman masyarakat yang tidak merata. Menurut dia, hingga hari ini masih banyak masyarakat yang kurang paham terhadap bahaya wabah ini. "Apa akibatnya, apa dampaknya dan lain sebagainya belum secara komprehensif dipahami."
Selain itu, sebagian masyarakat Indonesia masih mempunyai cara pandang yang konvensional. Artinya, sebagian masyarakat mengikuti aturan karena adanya ancaman hukuman atau sanksi.
"Mereka bukan mematuhi aturan karena memahami alasannya," ujarnya. "Jadi selama mereka tidak merasakan adanya sanksi dan hukuman bagi diri mereka sendiri ya sulit untuk mengikuti aturan yang ada."
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta Arifin mengatakan kedisiplinan masyarakat menerapkan protokol kesehatan Covid-19 jauh menurun pada PSBB transisi. "Pelanggarannya naik lebih dari dua kali lipat," katanya.
Selama PSBB transisi yang dimulai pada 5 Juni lalu, Pemerintah DKI Jakarta menerima Rp 1,1 miliar dari denda pelanggaran protokol kesehatan. Denda paling banyak diterima adalah dari pelanggar perorangan, yakni Rp 664 juta. Selanjutnya dari tempat atau fasilitas umum sebanyak Rp 264 juta, serta dari kegiatan sosial budaya sejumlah Rp 171 juta.
Arifin mengatakan,jumlah denda perorangan tercatat sebanyak 4.094 kasus. Sementara untuk tempat atau fasilitas umum sebanyak 71 kasus. Sedangkan bagi kegiatan sosial budaya, ada 18 denda yang dikeluarkan.
Di periode yang sama, jumlah teguran tertulis yang dikeluarkan pemerintah DKI untuk fasilitas umum adalah 401 dan untuk kegiatan sosial budaya sebanyak 8. Sedangkan sanksi kerja sosial untuk perorangan mencapai 37,599. Terakhir, sanksi segel diberikan kepada kegiatan sosial budaya sebanyak 28 kali.
IMAM HAMDI